Sabtu, 06 Februari 2016

Qunut Shubuh

 Qunut Shubuh yang hampir dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia menjadi salah satu obyek pekerjaan tetap orang-orang di luar kalangan Sunni untuk memancing kemarahan dan percekcokan. Mereka mengatakan bahwa hadits tentang qunut Shubuh adalah dha‘if, sehingga mengamalkannya adalah sebuah kesalahan dan bid’ah yang harus dihindari jauh-jauh. Padahal kalau kita jujur, masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah yang tidak diperkenankan untuk gegabah menolak. Sedangkan mengenai haditsnya pun ulama juga masih menyelisihkannya antara shahih dan tidaknya. Dasar amalan qunut Shubuh menurut madzhab asy-Syafi’i adalah berdasar hadits berikut:
 مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Rasulallah selalu melakukan qunut pada shalat Shubuh hingga beliau wafat.” Hadits tersebut di riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Ishaq bin Rahuyah (bukan Rahawaih) dalam Musnad-nya dari shahabat Anas.[1] Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadits qunut Shubuh adalah shahih diriwayatkan oleh banyak huffazh (jam' dari kata al-hafizh) dan semua mengatakan shahih. Diantara ulama yang mengatakan shahih adalah al-Hafizh al-Balkhi, al-Hakim[2], dan al-Baihaqi. Begitu juga Imam ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad shahih.[3] Al-Baihaqi dengan sanad hasan meriwayatkan dari Awwam bin Hamzah, dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu ‘Utsman tentang qunut Shubuh dan beliau menjawab: ‘Qunut Shubuh dilakukan setelah rukuk.’ Aku kembali bertanya: ‘Dari siapa keterangan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Dari Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum.’” Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari tabi’in, Abdullah bin Ma’qil dengan sanad shahih masyhur, bahwa Ali bin Abi Thalib melakukan qunut dalam shalat Shubuh.[4] Imam Muslim meriwayatkan dari al-Bara’ ra. hadits:
 إَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya Rasulallah melakukan qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.”[5]
Dengan ini semua, menjadi terang bahwa semua pernyataan mengenai tidak didapatkan dalil dari hadits shahih tentang disyariatkannya qunut Shubuh telah terbantahkan. Sebenarnya, hadits tentang qunut Shubuh riwayat dari shahabat Anas di atas masih diperselisihkan ulama ahli hadits. Sebagian ahli hadits mengatakan dha‘if dan sebagian yang lain mengatakan shahih, seperti an-Nawawi, al-Baihaqi dan lain-lain. Lepas dari khilafiyyah tentang penilaian hadits di atas, tidak menerima hasil pen-tashhihan hadits dari an-Nawawi, al-Baihaqi dan ulama lain yang sudah teruji keilmuannya, baik di bidang hadits maupun yang lain, maka hal itu semakin memperjelas sikap ekstrim serta dan tidak menghormati jerih payah ijtihad ulama-ulama hanya karena berbeda keyakinan. Apalagi masalah ini adalah masalah khilafiyyah, baik yang mengatakan disunahkan qunut Shubuh (asy-Syafi’i dan Malik) atau tidak (Abu Hanifah dan Ahmad), semua mempunyai dasar dan dalil.[6] Dan menghina bukanlah ciri khas muslim sejati. Dengan hadits tentang qunut yang dinilai shahih oleh segolongan ahli hadits, jika masih saja ada yang kalangan yang menyatakan qunut adalah suatu bid'ah dan dosa, maka orang tersebut mendapat sangsi keras lantaran telah mencederai ijtihad Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik, serta ulama-ulama pengikutnya dalam menetapkan qunut Shubuh. Dalam al-Mudawwanah di tuliskan bahwa Ibnu Mas'ud, Hasan al-Bashri, Abu Musa al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Abu Bakrah, Abdurrahaman bin Abi Laila mengatakan bahwa qunut adalah sunnah yang telah lalu. Bahkan Ibnu Sirin, Rabi' bin Khutsaim, Bara' bin Azib dan Abidah as-Salmani juga melakukan qunut Shubuh. Memang, penetapan disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh masih diperselisihkan para ulama, termasuk para mujtahid madzhab empat. Namun, alangkah lebih terhormat, arif dan bermartabat apabila masalah ini di dudukkan sebagai masalah khilafiyyah sehingga kita tidak gegabah menilai salah ijtihad ulama lain. Akan tetapi realitas menunjukkan bahwa kalangan muslim yang berada di luar lingkungan Ahlussunnah, tidak bisa memposisikan khilaf dalam koredor hukum ijtihadiyyah yang sebenarnya. Bukankan para shahabat Rasulallah atau salaf shalih juga berselisih dalam hukum? Namun mereka tetap saling menghormati satu dengan yang lain. Sebandingkah mereka dengan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik bin Anas sehingga mereka menganggap ijtihad mereka tentang qunut Shubuh adalah batil. Tidak sadarkah mereka bahwa perilaku menghina pengamal qunut Shubuh adalah tindakan yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulallah dan para shahabatnya yang menghormati ijtihad orang lain?! Banyak orang yang mengaku paling membela sunah Rasulallah tapi akhlaknya jauh dari apa yang diajarkan oleh Rasulallah. Na’udzubillah Kemudian Ashhab (pengikut) asy-Syafi’i dalam menanggapi hadits-hadits tentang tidak adanya qunut Shubuh adalah sebagai berikut: Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa:
 أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
“Rasulallah melakukan qunut selama sebulan[7], mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah dari Bani Sulaim) kemudian tidak melakukan qunut lagi.”
Maksud hadits tersebut adalah Rasulallah tidak lagi melakukan qunut atau doa untuk orang kafir dan melaknatnya, bukan meninggalkan semua qunut, yang artinya Rasulallah masih tetap melakukan qunut biasa. Ta’wil ini dilakukan untuk mengumpulkan hadist di atas dengan hadits riwayat Anas bahwa “Rasulallah selalu melakukan qunut Shubuh sampai beliau wafat” yang juga shahih secara jelas, maka wajib adanya jam‘u dalilain (pengumpulan dua dalil). Penta’wilan ini dikuatkan riwayat al-Baihaqi dari Abdurrahman bin Mahdi, dia mengatakan: “Rasulallah meninggalkan doa laknat.” Lebih jelas lagi, sebagai penguat ta’wil di atas adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah melakukan qunut setelah rukuk dalam shalatnya selama sebulan, mendoakan seseorang kemudian tidak melakukan doa lagi.[8]
 كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
“Rasulallah ketika akan mendoakan jelek kepada seseorang atau mendoakan baik untuk seseorang, maka beliau akan qunut (berdoa) setelah rukuk.’”
 Hadits riwayat dari Anas dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah.[9]
 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنَتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا الْقَوْمَ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
“Rasulallah tidak melakukan qunut kecuali apabila berdoa kebaikan untuk kaum atau mendoakan jelek pada suatu kaum.”
Dengan hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Anas di atas, beberapa orang yang anti qunut Shubuh mendakwakan bahwasannya hadits tentang qunut Shubuh bertentangan dengan hadits tersebut. Pernyataan tersebut tidak benar, karena hadits tersebut berbicara tentang qunut nazilah[10], bukan qunut Shubuh. Lantaran kata “yaqnutu” pada hadits tersebut bermakna doa bukan bermakna qunut. Andai hadits tersebut berkaitan dengan qunut Shubuh, tentu hadits ini menjadi dalil bagi Madzhab Hanafi dan Abu Yusuf tentang tidak bolehnya melakukan qunut Shubuh, padahal dalil madzhab Hanafi dan Abu Yusuf yang tidak mensyariatkan qunut Shubuh bukan berdasar hadits di atas.[11] Madzhab Hanafi, madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Yusuf mengambil dalil tentang tidak bolehnya mengamalkan qunut Shubuh dengan hadits riwayat at-Tirmidzi dan lain-lain dari Sa’ad bin Thariq berikut:
 يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ أفَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulallah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, apakah mereka semua melakukan qunut dalam shalat fajar? Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang baru.”
 Menanggapi hadits ini, para ulama yang menetapkan qunut Shubuh memberikan jawaban bahwa ucapan Thariq al-Asyja’i tersebut adalah dalam kapasitas ijtihad shahabat karena tidak dinisbatkan sama sekali (marfu’) pada Rasulallah.[12] [1] At-Talkhish al-Habir (Majmu’) juz 3 hlm. 417. [2] Al-Hakim dalam kitab al-Arba'in. lihat al-Adzkar hlm. 57 [3] Al- Majmu’ juz 3 hlm. 504. [4] Ibid. hlm. 505. [5] Majmu’ juz 3 hlm. 505. Qunut dalam shalat Maghrib tidak wajib dan terdapat ijma’ tentang di-naskh-nya qunut Maghrib (Majmu’ juz 3 hlm. 505). [6] Ibanah al-Ahkam juz 1 hlm. 325. [7] Sebulan tersebut adalah dalam shalat 5 waktu. Lihat at-Talkhish al-Habir karya al-Hafizh Ibnu Hajar juz 3 hlm. 420. [8] Majmu’ juz 3 hlm. 505. Lihat juga Ibanah al-Ahkam juz 1 hlm. 324 dan Subul as-Salam juz 1 hlm. 185. [9] Ibanah al-Ahkam juz 1 hlm. 323. [10] Subul as-Salam juz 1 hlm. 186, Ibanah al-Ahkam juz 1 hlm. 324. [11] Subul as-Salam juz 1 hlm. 186. [12] Ibanah al-Ahkam 1/325.
 


1.  Pengertian Qunut
Secara bahasa Qunut artinya Do’a. Secara istilah Qunut dibagi dua,
yaitu :
1)   Qunut Nazilah yaitu : Qunut yang dibaca dalam shalat fardu ketika umat islam menghadapi bahaya, wabah penyakit, bencana atau tantangan dari orang kafir.

2)   Qunut subuh atau Qunut witir yaitu : qunut yang dikerjakan pada saat i’tidal rakaat ke-2 dalam shalat subuh, atau witir pada separuh akhir bulan Ramadhan


2. Dalil-dalil Qunut
Hukum Qunut adalah sunat, diantara sahabat yang mensunahkan diantanya Abu Bakar As-Sidik, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas dan Barra Bin Aziz. Dalil yang dijadikan pedoman untuk mensunahkan qunut adalah hadist Nabi Muhammad SAW :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A “Beliau berkata, “Rasululloh senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad).
Pakar hadis Muhammad bin Alan as-Sidiqi dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah mengatakan bahwa hadis ini yang benar dan diriwayatkan serta disahihkan oleh golongan pakar yang banyak yang banyak hadist.
Sedangkan do`a qunut yang diajarkan langsung oleh Nabi SAW adalah sebagai berikut :
اَلَّلهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ,وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنّا فِيْمَنْ تَوَلَّيَتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لَايَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَايَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ. (رواه النسائ ١٧٢٥،وأبو داود ١٢١٤،والترميذى ٤٢٦،وأحمد ١٦٢٥،والدارمي ١٥٤٥بسند صحيح)                                                          “Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu dan atas segala yang Engkau pastikan. Kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’I :1725, Abu Dawud :1214, Al-Tirmidzi :426, Ahamad :1625 dan Al-Darimi :1545 dengan Sanad yang Shahih)
Dalil kedua disebutkan dalam kitab fiqh as-Sunah Juz II halaman 38-39 :
وَمَذْهَبُنَا الشَّافِعِيُّ: اِنَّ الْقُنُوْتَ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ الثَّانِيَّةِ سُنَّةٌ لِمَا رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ الِاَّ التِّرْمِيْذِى عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ اَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِفى صَلَاةِ الصُّبْحِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ اَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: بَعْدَ الرُّكُوْعِ.
Ulama As-Syafi’iyah mengatakan: Kedudukan qunut pada shalat subuh persisnya ketika bangkit dari rakaat kedua, hukumnya sunah karena ada hdist yang diriwayatkan ahli hadis kecuali at-Tirmidzi. Hadis itu diriwayatkan dari ibnu Sirin, Anas bin Malik pernah ditanya: Apakah Nabi menjalankan qunut pada shalat subuh? Jawab anas: Ya! Kemudian ditanya lagi: letaknya dimana sebelum atau sesudah ruku’? Jawabnya: Sesudah ruku’ (fiqh As-Sunah,Juz 11,hlm.38-39)

Dalil ketiga sebagaimana disebutkan dalam kitab Hamizsy Qalyubi Mahalli Juz I halaman 57
وَيُسَنُّ الْقُنُوْتُ فِي اعْتِدَالٍ ثَانِيَةِ الصُّبْحِ- اِلَى اَنْ قَالَ- لِلاتِّبَاعِ رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِى اْلمُسْتَدْرَكِ عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَيَدْعُ بِهَذَا الدُّعَاءِ “اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ …. اِلَى اَخِرِ مَا تَقَدَّمَ- لَكِنْ لَمْ يَذْكُرْ رَبَّنَا. وقال صحيح.
Qunut itu disunahkan letaknya ketika I’tidal, reka’at kedua shalat subuh,  karena mengikuti Nabi. Hadis diriwayatkan Hakim dalam kitab Mustadrak dari Abu Hurairah: "Rosululloh mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh pada reka’at kedua, dia mengangkat tangannya kemudian berdo’a: Allohumma ihdini fi-man hadait, Rosululloh tidak memakai kata-kata robbana"   Hadis ini shahih.
Ketiga, dalam Nail al-Authar, Juz II hlm:387:
فَاِنَّهُ اِنَّمَا سَأَلَ اَنَسًا عَنْ قُنُوْتِ اْلفَجْرِ فَأَجَابَهُ عَمَّا سَأَلَهُ عَنْهُ وَبِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وَسَلِّمْ كَانَ يُطِيْلُ صَلَاةِ اْلفَجْرِ دُوْنَ السَّائِرِ الصَّلَوَاتِ. قَالَ وَمَعْلُوْمٌ اِنَّهُ كَانَ يَدْعُوْ رَبَّهُ وَيُثَنَّى عَلَيْهِ وَيُمَجِّدُهُ فِى هَذَا اْلاِعْتِدَالِ. وَهَذَا قُنُوْتٌ مِنْهُ بِلَارَيْبٍ فَنَحْنُ لَانَشُكُّ وَلَا نَرْتَابُ اِنَّهُ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Ketika ditanya sahabat tentang qunut fajar, Anas menjawab: Rasululoh (ketika qunut), ia memanjangka shalat fajar (Subuh) tidak seperti shalat lainnya. Panjang, karena ia membaca do’a, memuji Alloh, mengagungkan-Nya dalam I’tidal ini. Inilah yang dikatakan qunut, tidak diragukan lagi. Kita tidak perlu syak (bimbang) dan ragu lagi bahwa Nabi membaca qunut dalam shalat subuh sampai meninggal!.

NB:
Sebaiknya bagi yang tidak memakai qunut bersikap bijak karena lihat para Ulama salaf asshalih begitu bijaknya dalam berfatwa , apalagi dalam masalah ijtihad atau furu’. Kita harusnya malu dengan mereka, apalagi kapasitas ilmu kita sangat2lah jauh dari mereka para ulama.
SEJARAH DAN TOKOH 4 MAZHAB ISLAM

Kata mazhab merupakan sighat isim makan darifi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikian pengertian mazhab menurut bahasa. Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.Setiap mazhab punya guru dan tokoh-tokoh yang mengembangkannya. Biasanya mereka punya lembaga pendididikan yang mengajarkan ilmu-ilmu kepada muridnya. Berkembangnya suatu mazhan di sebuah wilayah sangat bergantung dari banyak hal. Salah satunya dari keberadaan pusat-pusat pengajaran mazhab itu sendiri. Selain itu sedikit banyak dipengaruhi juga oleh mazhab yang dianut oleh penguasa, dimana penguasa biasanya mendirikan universitas keagamaan dan mengajarkan mazhab tertentu di dalamnya. Nanti para mahasiswa yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia akan membuka perguruan tinggi dan akan menyebarkan mazhab trsebut di negeri masing-masing.
Bila pengelilaan perguruan itu berjalan baik dan berhasil, biasanya akan mempengaruhi ragam mazhab penduduk suatu negeri. Di Mesir misalnya, mazhab As-Syafi’i disana berhasil mengajarkan dan mendirikan perguruan tinggi, lalu punya banyakmurid diantaranya dair Indonesia. Maka di kemudian hari, mazhab As-Syafi;i pun berkembang banyak di Indonesia.
Sekilas tentang 4 Mazhab

1. Mazhab Hanafi

Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak . Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi.
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu : Al Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al Qiyas, Al Istihsan, Ijma’ dan Uruf. Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut :a.Abu Yusuf bin Ibrahim Al Anshari b.Zufar bin Hujail bin Qais al Kufi c.Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani d.Hasan bin Ziyad Al Lu’lu Al Kufi Maulana Al Anshari .
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah ,kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan,Pakistan,Turkistan,Muslimin India dan Tiongkok.

2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masasesudah beliau meninggal dunia. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok yaitu :
  • Qaul Shahabi
  • Istihsan
  • Muraa’atul Khilaaf
  • Saddud Dzaraa’i.
  • Tanbihus Sunnah
  • Ijma’
  • Qiyas
  • Nashul Kitab
  • Dzaahirul Kitab
  • Dalilul Kitab
  • Mafhum muwafaqah
  • Tanbihul Kitab, terhadap illat
  • Nash-nash Sunnah
  • Dzahirus Sunnah
  • Dalilus Sunnah
  • Mafhum Sunnah
  • Amalu Ahlil Madinah
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya
Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Medinah dan belajar pada Imam Malik ialah :
  • Asbagh bin Farj al Umawi.
  • Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam.
  • Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al Iskandari.
  • Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
  • Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al Utaqy.
  • Asyhab bin Abdul Aziz al Qaisi.
  • Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
Ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah :
  • Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
  • Asad bin Furat.
  • Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
  • Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al Qurthubi.
  • Isa bin Dinar al Andalusi.
  • Yahya bin Yahya bin Katsir Al Laitsi.
  • Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut :
  • Ibnu Rusyd Al Hafiz
  • Ibnu ‘Arabi
  • Ibnul Qasim bin Jizzi
  • Abdul Walid al Baji
  • Abdul Hasan Al Lakhami
  • Ibnu Rusyd Al Kabir
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki.
Awal mulanya tersebar di daerah Medinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

3.Mazhab Syafi’i

Mazhab ini dibangun oleh Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah : Al-Um.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i.
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum sysra’ adalah :
  • Al Qiyas.
  • Al Istishab.
  • Al Kitab.
  • Sunnah Mutawatirah.
  • Al Ijma’.
  • Khabar Ahad.
Sahabat-sahabat beliau yang berasal dari Irak antara lain :
  • Hasan bin Muhammad bin Shabah Az Za’farani al-Bagdadi.
  • Abu Ali Al Husain bin Ali Al Karabisi.
  • Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz al Bagdadi.
  • Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman al-Kalabi al-Bagdadi.
  • Ahmad bin Hanbal yang menjadi Imam Mazhab keeempat.
Adapun sahabat beliau dari Mesir :
  • Harmalah bin Tahya bin Abdullah Attayibi
  • Yunus bin Abdul A’la Asshodafi al Misri.
  • Abu Bakar Muhammad bin Ahmad.
  • Yusuf bin Yahya al Buwaithi al Misri.
  • Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzani al Misri.
  • Rabi’ bin Abdul Jabbar al Muradi.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

4. Mazhab Hambali

Pendiri Mazhab Hambali ialah : Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhabnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
  • Nash Al Qur-an atau nash hadits.
  • Fatwa sebagian Sahabat.
  • Pendapat sebagian Sahabat.
  • Hadits Mursal atau Hadits Doif.
  • Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini didalam kitabnya
I’laamul Muwaaqi’in.
Pengembang-pengembang Mazhabnya
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut :
  • Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
  • Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
  • Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, diantaranya :
  • Ibnul Qaiyim al Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
  • Muwaquddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi yang mengarang kitab Al Mughni.
  • Syamsuddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
  • Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al Fataawa.
Daerah yang Menganut Mazhab Hambali.
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Demikian sekilas sejarah dan penjelasan dari keempat mazhab yang terkenal.