( BANTAHAN ALLOH ADA DI LANGIT )
Sebagian kawan kita yang menyatakan
Allah berada di langit atau bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah
hadits yang menceritakan tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog
dengan Rasul SAW. Dalam hadits tersebut Rasul Saw melakukan dialog untuk
mengetahui keimanan atau indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang
dimaksud sudah beriman atau belum? Budak yang dimaksud apakah telah
memenuhi persyaratan untuk bisa menjadi kafarah, berupa pembebasan
seorang budak beriman bagi muslim yang melanggar perbuatan tertentu di
dalam syariat atau tidak?!
Pada penghujung sebuah hadits
riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah bin Hakam direkamkan dialog antara
Rasul Saw. dengan budak seperti redaksi berikut:
Rasulullah Saw. berkata:
“Datangkanlah ia kesini”. Kemudian akupun mendatangkan budak wanita
tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka
ia menjawab: “Di langit”. Lalu beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia
menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia,
karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)
Secara umum jumhur umat menolak
hadits ini, disebabkan karena faktor berikut:
Pertama,
Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan
`aqli[1].
Diantara dalil naqli:
1.
QS: An Nahl: 17, “Maka apakah
(Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan
(apa-apa)?”
2.
QS: Al Syura: 11, “Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia”.
3.
Banyak hadits yang menyatakan
bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau menguji keimanan seseorang selalu
dengan menggunakan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits seperti ini mencapai
kapasitas mutawatir!
Diantara Dalil `aqly:
1.
Allah
Maha Suci dari tempat dan bertempat pada sesuatu apapun dari makhluqNya. Allah
Maha Suci dari waktu dan pengaruh ruang waktu. Karena keduanya adalah milik
Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Razi di dalam menafsirkan firman Allah dalam al-Qur’an Surat Al An`am: 12, “Katakanlah:
“Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan
Allah”.” Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada pada
tempat adalah milik Allah. Dan firman Allah QS: Al An`am: 13: “Dan
kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari.” Ayat ini
menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang waktu
adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya.
2.
Akal manusia secara pasti dan
tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq pasti beda dengan makhluqNya. Bila
makhluq bertempat/tidak terlepas dari tempat tertentu, maka Allah tidak
bertempat tertentu. Karena Allah beda dengan makhluqNya. Bila makhluq
berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu, sedangkan Allah tidak!
3.
Allah bersifat qadim, oleh
karena itu Allah tidak berada pada ruang tempat tertentu, baik sebelum
diciptakan `arsy dan langit ataupun setelahnya. Apabila Allah berada di
atas langit atau di atas `arsy setelah Allah menciptakan keduanya, berarti
Allah memiliki sifat hadits, karena keberadaan Allah di atas langit dan `arsy
telah didahului oleh ketiadaan langit dan `arsy, dan Allah tidak berada di
atas langit dan `arsy sebelum diciptakan keduanya. Setelah ada, baru kemudian
bersemayam diatasnya. Ini artinya kita menyifati Allah dengan sifat
hadits. Sedangkan secara kaidah dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi
oleh sifat hadits adalah hadits.
Kedua, hadits
ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak dahulu dan
sampai kini, yang tidak diterima oleh sebagian orang karena bid`ah yang
mereka lakonkan[2].
Para hafiz di bidang hadits dan
para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa
hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari
hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh
karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz
dan tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah!
Mari kita kaji lebih lanjut hadits
yang menceritakan tentang kisah budak wanita ini secara komprehensif,
komparatif dan kritis.
Perhatikanlah
redaksi hadits di dalam Sahih Muslim secara lengkap:
ﺭﻭﻯ ﻋﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﻗﺎﻝ : ﺑﻴﻨﺎ ﺃﻧﺎ ﺃﺻﻠﻲ ﻣﻊﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺇﺫ ﻋﻄﺲ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻡﻓﻘﻠﺖ ﻳﺮﺣﻤﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺮﻣﺎﻧﻲ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺑﺄﺑﺼﺎﺭﻫﻢ ﻓﻘﻠﺖ ﻭﺍﺛﻜﻞ ﺃﻣﻴﺎﻩﻣﺎ ﺷﺄﻧﻜﻢ ؟ ﺗﻨﻈﺮﻭﻥ ﺇﻟﻲ ﻓﺠﻌﻠﻮﺍ ﻳﻀﺮﺑﻮﻥ ﺑﺄﻳﺪﻳﻬﻢ ﻋﻠﻰﺃﻓﺨﺎﺫﻫﻢ ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻳﺼﻤﺘﻮﻧﻨﻲ ﻟﻜﻨﻲ ﺳﻜﺖ ﻓﻠﻤﺎ ﺻﻠﻰﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﺒﺄﺑﻲ ﻫﻮ ﻭﺃﻣﻲ ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺖﻣﻌﻠﻤﺎ ﻗﺒﻠﻪ ﻭﻻ ﺑﻌﺪﻩ ﺃﺣﺴﻦ ﺗﻌﻠﻴﻤﺎ ﻣﻨﻪ ﻓﻮﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻛﻬﺮﻧﻲ ﻭﻻﺿﺮﺑﻨﻲ ﻭﻻ ﺷﺘﻤﻨﻲ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻻ ﻳﺼﻠﺢ ﻓﻴﻬﺎ ﺷﻲﺀﻣﻦ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺃﻭﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪﺇﻧﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻬﺪ ﺑﺠﺎﻫﻠﻴﺔ ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻭﺇﻥ ﻣﻨﺎ
ﺭﺟﺎﻻ ﻳﺄﺗﻮﻥ ﺍﻟﻜﻬﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻓﻼ ﺗﺄﺗﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﻣﻨﺎ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺘﻄﻴﺮﻭﻥﻗﺎﻝ ﺫﺍﻙ ﺷﻲﺀ ﻳﺠﺪﻭﻧﻪ ﻓﻲ ﺻﺪﻭﺭﻫﻢ ﻓﻼ ﻳﺼﺪﻧﻬﻢ ) ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦﺍﻟﻤﺼﺒﺎﺡ ﻓﻼ ﻳﺼﺪﻧﻜﻢ ( ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻭﻣﻨﺎ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺨﻄﻮﻥ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥﻧﺒﻲ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻳﺨﻂ ﻓﻤﻦ ﻭﺍﻓﻖ ﺧﻄﻪ ﻓﺬﺍﻙ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻟﻲﺟﺎﺭﻳﺔ ﺗﺮﻋﻰ ﻏﻨﻤﺎ ﻟﻲ ﻗﺒﻞ ﺃﺣﺪ ﻭﺍﻟﺠﻮﺍﻧﻴﺔ ﻓﺎﻃﻠﻌﺖ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ
ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻟﺬﻳﺐ ] ﺍﻟﺬﺋﺐ ؟ ؟ [ ﻗﺪ ﺫﻫﺐ ﺑﺸﺎﺓ ﻣﻦ ﻏﻨﻤﻬﺎ ﻭﺃﻧﺎ ﺭﺟﻞﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﺁﺳﻒ ﻛﻤﺎ ﻳﺄﺳﻔﻮﻥ ﻟﻜﻨﻲ ﺻﻜﻜﺘﻬﺎ ﺻﻜﺔ ﻓﺄﺗﻴﺖ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻌﻈﻢ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻲ ﻗﻠﺖ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻓﻼ ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﺋﺘﻨﻲ ﺑﻬﺎ ﻓﺄﺗﻴﺘﻪ ﺑﻬﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻟﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ؟ ﻗﺎﻟﺖ ﺃﻧﺖ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ
ﺭﺟﺎﻻ ﻳﺄﺗﻮﻥ ﺍﻟﻜﻬﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻓﻼ ﺗﺄﺗﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﻣﻨﺎ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺘﻄﻴﺮﻭﻥﻗﺎﻝ ﺫﺍﻙ ﺷﻲﺀ ﻳﺠﺪﻭﻧﻪ ﻓﻲ ﺻﺪﻭﺭﻫﻢ ﻓﻼ ﻳﺼﺪﻧﻬﻢ ) ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦﺍﻟﻤﺼﺒﺎﺡ ﻓﻼ ﻳﺼﺪﻧﻜﻢ ( ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻭﻣﻨﺎ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺨﻄﻮﻥ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥﻧﺒﻲ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻳﺨﻂ ﻓﻤﻦ ﻭﺍﻓﻖ ﺧﻄﻪ ﻓﺬﺍﻙ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻟﻲﺟﺎﺭﻳﺔ ﺗﺮﻋﻰ ﻏﻨﻤﺎ ﻟﻲ ﻗﺒﻞ ﺃﺣﺪ ﻭﺍﻟﺠﻮﺍﻧﻴﺔ ﻓﺎﻃﻠﻌﺖ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ
ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻟﺬﻳﺐ ] ﺍﻟﺬﺋﺐ ؟ ؟ [ ﻗﺪ ﺫﻫﺐ ﺑﺸﺎﺓ ﻣﻦ ﻏﻨﻤﻬﺎ ﻭﺃﻧﺎ ﺭﺟﻞﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﺁﺳﻒ ﻛﻤﺎ ﻳﺄﺳﻔﻮﻥ ﻟﻜﻨﻲ ﺻﻜﻜﺘﻬﺎ ﺻﻜﺔ ﻓﺄﺗﻴﺖ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻌﻈﻢ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻲ ﻗﻠﺖ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻓﻼ ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﺋﺘﻨﻲ ﺑﻬﺎ ﻓﺄﺗﻴﺘﻪ ﺑﻬﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻟﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ؟ ﻗﺎﻟﺖ ﺃﻧﺖ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ
"Diriwayatkan
dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya shalat bersama Rasulullah Saw.
ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan
mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku
dan aku menjawab: “Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian
melihatku seperti itu?!”
Kemudian
mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku
untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw menunaikan
shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan
sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul
saw.. Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga tidak
mencelaku. Beliau hanya berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada
perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari
tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an.” Atau sebagaimana yang dikatakan oleh
Rasul saw..
Aku kemudian
menjawab: “Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja
berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam. Dan sesungguhnya diantara
kami masih ada yang mendatangi para dukun.
Beliau
berkata: “Jangan datangi mereka!” Aku kemudian menjelaskan bahwa diantara kami
masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan dan bersikap
pesimistis).
Beliau
mengatakan: “Itu hanyalah sesuatu yang mereka rasakan di dalam diri
mereka, maka janganlah sampai membuat mereka berpaling (Kata Ibnu Shabbah:
maka janganlah membuat kalian berpaling). Kemudian ia melanjutkan
penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara kami ada yang
menulis dengan tangan mereka.
Rasul Saw.
berkata: dari kalangan Nabi juga ada yang menulis (khat) dengan tangan,
barangsiapa yang sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia
kemudian berkata: saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan
kambing di sekitar bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku
memperhatikan ia mengembala, ketika itu seekor serigala telah memangsa seekor
kambing. Aku adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana
yang lain. Kemudian aku menamparnya (budak wanita) dengan sekali tamparan.
Maka kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu
hal yang besar bagiku. Akupun berkata: “Apakah aku mesti membebaskannya?”
Rasul Saw.
menjawab: “Datangkanlah ia kesini!”. Kemudian aku pun mendatangkan budak wanita
tersebut ke hadapan Rasul Saw..
Rasul Saw.
kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia (budak wanita) menjawab: “Di
langit”,
Rasul Saw.
bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu Rasul
Saw. bersabda “Bebaskanlah ia karena ia adalah seorang yang beriman” (Hadits
Riwayat Muslim)
Hadits di atas menjelaskan beberapa
hal penting kepada kita, diantaranya:
1.
Sekelumit
pelajaran yang bisa dipetik dari hadits, diantaranya; Rasul Saw mencontohkan metode mengajar yang tauladan, hadits ini
menceritakan tentang masalah membayar kafarah berupa pembebasan seorang budak
yang disyaratkan mesti beriman. Rasul Saw memastikan apakah budak yang
akan dibebaskan sudah beriman?! Di dalam hadits ini juga menceritakan
tentang status periwayat hadits yang baru masuk Islam, keadaan kaum si
periwayat hadits, dan diceritakan pula cara Rasul Saw mengetahui bahwa si
budak seorang beriman atau bukan? Berdasarkan indikasi yang nampak oleh
Rasul Saw.[3].
2.
Hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak
meriwayatkan pada bab “Iman”, bab “Kafarah dengan pembebasan budak
beriman”,dan juga bukan pada bab “Pembebasan budak”. Artinya hadits ini beliau
kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah
akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah
akidah.
3.
Imam Nawawi dalam menjelaskan
penghujung hadits yang merupakan dialog antara Rasul Saw. dengan budak wanita,
mengatakan bahwa ulama memiliki banyak persepsi dalam memahaminya, secara
ringkas ulama memahaminya dengan 2 metode; Pertama, mengimani hadits
sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Saw tanpa mengkaji lebih jauh makna
yang dimaksud dan meyakini bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah
sesuatupun serta mensucikan Allah dari segala sifat makhluq. Kedua, takwil
dengan makna sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah.[4]
Berkenaan dengan
hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al
Asma`Wa Al Shifat[5]:
ﻭﻫﺬﺍ ﺻﺤﻴﺢ ، ﻗﺪ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻘﻄﻌﺎ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲﻭﺣﺠﺎﺝ ﺍﻟﺼﻮﺍﻑ ﻋﻦ
ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﺩﻭﻥ ﻗﺼﺔ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ،ﻭﺃﻇﻨﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﻛﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻻﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻓﻲ
ﻟﻔﻈﻪ .ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮﺕ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻈﻬﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﻣﻦ ﺧﺎﻟﻒﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﻟﻔﻆ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ
“Hadits ini
adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits
yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi
Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia
meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan
riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada
bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda
dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin
Hakam dari segi redaksi hadits.”
Dari
pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak
wanita yang merupakan bagian dari hadits[6];
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut
versi Imam Baihaqi.
2.
Bahwa kisah ini terjadi
perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari
pernyataan Imam Baihaqi adalah sebagai berikut:
Pertama,
naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain
tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits
ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi
hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh
Imam Baihaqi[7].
Sebagaimana
juga dilakukan oleh Imam Malik didalam kitab Muwatha` riwayat
Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “Sesungguhnya ia adalah seorang yang
beriman”. Sama halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini
pada bab Af`al al `Ibad, dan hanya mengambil potongan yang
berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan
sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”. Imam Bukhari meringkas
hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak
berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat
perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits
tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.
Kedua, terjadinya perbedaan riwayat
antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang
lain. Bahkan menurut DR.Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang
bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN
HAKAM:
RIWAYAT
PERTAMA[8]
Sebagaimana
yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas dengan menggunakan redaksi:
ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ . ﻗﺎﻝ : ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ؟ ﻗﺎﻟﺖ :ﺃﻧﺖ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ . ﻗﺎﻝ : ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ
“Beliau (Rasul Saw.) kemudian
bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya
lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda:
“Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
RIWAYAT KEDUA
ﺃﻭﺭﺩﻫﺎ ﺍﻟﺬﻫﺒﻰ ﻭﺫﻛﺮ ﺳﻨﺪﻫﺎ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻤﺰﻯ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺳﻌﻴﺪﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻋﻦ ﺗﻮﺑﺔ
ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻯ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﻰﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﻧﻔﺴﻪ -ﻳﺸﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ –
ﻭﺫﻛﺮ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻓﻴﻪ : ) ﻓﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺪﻩ ﺇﻟﻴﻬﺎﻭﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻣﺴﺘﻔﻬﻤﺎ : ) ﻣﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ؟( ﻗﺎﻟﺖ : ﺍﻟﻠﻪ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻓﻴﻪ : ) ﻓﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺪﻩ ﺇﻟﻴﻬﺎﻭﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻣﺴﺘﻔﻬﻤﺎ : ) ﻣﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ؟( ﻗﺎﻟﺖ : ﺍﻟﻠﻪ
“Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby
dan ia menyebutkan bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy
dari jalur Sa`id bin Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar,
ia berkata: disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada
Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat
redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya
mengisyaratkan pertanyaan, “Siapa di langit?” ia menjawab: “Allah”
Untuk mengkaji lebih jauh tentang
jalur-jalur hadits secara komprehensif, silahkan rujuk kitab al`Uluww,
Imam Dzahaby, Kitab Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al
Muwatha`, Imam Malik.[9]
Sebagaimana diketahui pada riwayat
ini, Rasul Saw tidak mengatakan “Dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan
“Siapa yang ada di langit?”, tetapi Rasul Saw hanya menggunakan bahasa isyarat!
Perkataan Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan
pengungkapan dan redaksi dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul
Saw.![10]
Sanad
hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid merupakan periwayat
hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah seorang rijal Imam Muslim.
Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly dan
Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar tentangnya: “Ia
adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia adalah seorang yang
hafiz”.
Meskipun
Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakannya sebagai seorang periwayat
yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang diriwayatkannya tidak akan turun,
kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat Hilal Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin
Abi Maimunah). Abu Hatim
berkomentar tentangnya: “Beliau merupakan seorang syaikh yang ditulis hadits-haditsnya”. Imam Nasa`i juga mengomentari: “Tidak apa-apa dengannya, artinya sanad darinya adalah berderajat hasan”. Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu.[11]
berkomentar tentangnya: “Beliau merupakan seorang syaikh yang ditulis hadits-haditsnya”. Imam Nasa`i juga mengomentari: “Tidak apa-apa dengannya, artinya sanad darinya adalah berderajat hasan”. Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu.[11]
Dari
dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab (keraguan karena
banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian adanya lafaz “Dimana
Allah?” Beghitu juga dengan pernyataan: “Berada di langit”. Keduanya merupakan
redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.
Sangat
perlu dipahami bahwa periwayat hadits, Mu`awiyah Bin Hakam bukanlah seorang
ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan sahabat serta jarang menyertai Rasul
Saw sehingga tidak mempelajari banyak ilmu secara lebih mendalam. Bahkan
sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadits pada sahih Muslim di awal, “Saya
baru saja terlepas dari kaum jahiliyah dan masuk Islam”. Ketika itu beliau
tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang yang bersin dapat menyebabkan
batal shalat dan berbicara dengan orang lain juga membatalkan shalat. Oleh
karena itu beliau belum memahami syariat -yang di dalamnya termasuk
masalah tauhid- secara lebih matang.
Tentang keadaan periwayat hadits,
Muawiyah Bin Hakam ini, akan semakin jelas ketika kita melakukan komparasi
dengan riwayat hadits lain, yang diriwayatkan bukan melalui jalur beliau.[12]
Selanjutnya
mari kita perhatikan pemaparan Imam Baihaqi:
Ada
riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di
dalam Bab Zhihar pada sub bab “Membebaskan budak yang bisu ketika
mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman”.
Riwayat
ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari Abu Hurairah;
ﻋَﻦْ ﻋَﻮْﻥِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﺘْﺒَﺔَ
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻰ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ :ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –
ﺑِﺠَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﺳَﻮْﺩَﺍﺀَﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﻋَﻠَﻰَّ ﻋِﺘْﻖَ
ﺭَﻗَﺒَﺔٍ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ :«ﺃَﻳْﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪُ؟ .« ﻓَﺄَﺷَﺎﺭَﺕْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺑِﺈِﺻْﺒَﻌِﻬَﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ :« ﻓَﻤَﻦْﺃَﻧَﺎ؟ .« ﻓَﺄَﺷَﺎﺭَﺕْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻭَﺇِﻟَىﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺗَﻌْﻨِﻰ : ﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ
ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – :« ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ
ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٌ ».
Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya
seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dengan seorang budak wanita yang
berkulit hitam dan ia berkata kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah
Saw.,sesungguhnya saya memiliki kewajiban untuk membebaskan seorang budak
beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita): “Dimana Allah?”
kemudian ia (budak wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya.
Rasul Saw
kemudian bertanya lagi kepadanya “Dan saya siapa?” Ia kembali mengisyaratkan
kepada Nabi Saw dan selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya “Engkau
adalah seorang utusan Allah”. Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki
tadi: “Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman”.[13]
Jika melihat kepada keumuman
riwayat, ini sama dengan riwayat yang sebelumnya, menceritakan tentang kisah
yang sama dan di dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:
ﻓﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺪﻩ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺍﻟﻴﻬﺎﻣﺴﺘﻔﻬﻤﺎ ﻭﻗﺎﻝ )
ﻣﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ( ﻗﺎﻟﺖ : ﺍﻟﻠﻪ
Berarti
dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua sisi dan redaksi yang
didakwakan sebenarnya tidak ada.
Hujjatul
Islam, Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang
yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah
Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit.
Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw karena para sahabat menyangka budak wanita
sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw
ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka
sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah
berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang
disangkakan terhadapnya[14].
Isyarat
ini selain menujukkan bahwa budak adalah seorang yang bisu juga mengisyaratkan
bahwa si budak adalah seorang non-Arab sebagaimana disebutkan oleh sebagian
riwayat.
Isyarat ke langit ini juga adalah
suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang awam dan mereka tidak memiliki cara
lain untuk menunjukkan Tuhan mereka. Jikalaupun dialog ini benar terjadi sesuai
dengan redaksi pada Sahih Muslim, maka Rasul Saw menyetujui dialog ini
sebagai perwujudan metode dakwah yang menempatkan seseorang sesuai dengan
kemampuan akal mereka[15].
Bagaimana mungkin kita berpegang
kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya
menyatakan tidak
adanya redaksi dari Rasul Saw dan budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?![16]
adanya redaksi dari Rasul Saw dan budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?![16]
ANALISA RIWAYAT DARI JALUR SELAIN MU`AWIYAH BIN
HAKAM YANG MENCERITAKAN KISAH YANG SAMA DENGAN MENGGUNAKAN REDAKSI ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ
ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ؟
“(APAKAH ENGKAU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH?)”
RIWAYAT PERTAMA:
Bersumber
dari periwayat Atha` bin Yassar -juga terdapat di dalam kitab Mushannaf Abdul
Razzaq-:
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻗﺎﻝ : ﺃﺧﺒﺮﻧﻰ ﻋﻄﺎﺀ ﺃﻥ ﺭﺟﻼ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺟﺎﺭﻳﺔﻓﻰ ﻏﻨﻢ ﺗﺮﻋﺎﻫﺎ
ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺷﺎﺓ ﺻﻔﻰ – ﻳﻌﻨﻰ ﻏﺰﻳﺮﺓ ﻓﻰ ﻏﻨﻤﻪﺗﻠﻚ – ﻓﺄﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻌﻄﻴﻬﺎ ﻧﺒﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺠﺎﺀ
ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻓﺎﻧﺘﺰﻉ ﺿﺮﻋﻬﺎ ﻓﻐﻀﺐ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﺼﻚ ﻭﺟﻪ ﺟﺎﺭﻳﺘﻪ ﻓﺠﺎﺀﻧﺒﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺬﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﺃﻧﻬﺎ ﻛﺎﻧﺖﻋﻠﻴﻪ ﺭﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﻭﺍﻓﻴﺔ ﻗﺪ ﻫﻢ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻠﻬﺎ ﺇﻳﺎﻫﺎ ﺣﻴﻦ ﺻﻜﻬﺎ،ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺇﺋﺘﻨﻰ ﺑﻬﺎ! ﻓﺴﺄﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺃﺗﺸﻬﺪﻳﻦ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ .ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻭﺍﻟﺒﻌﺚﺣﻖ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻭﺃﻥ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﺍﻟﻨﺎﺭ ﺣﻖ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻓﻠﻤﺎﻓﺮﻍ، ﻗﺎﻝ : ﺍﻋﺘﻖ ﺃﻭ ﺃﻣﺴﻚ !
ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻓﺎﻧﺘﺰﻉ ﺿﺮﻋﻬﺎ ﻓﻐﻀﺐ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﺼﻚ ﻭﺟﻪ ﺟﺎﺭﻳﺘﻪ ﻓﺠﺎﺀﻧﺒﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺬﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﺃﻧﻬﺎ ﻛﺎﻧﺖﻋﻠﻴﻪ ﺭﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﻭﺍﻓﻴﺔ ﻗﺪ ﻫﻢ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻠﻬﺎ ﺇﻳﺎﻫﺎ ﺣﻴﻦ ﺻﻜﻬﺎ،ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺇﺋﺘﻨﻰ ﺑﻬﺎ! ﻓﺴﺄﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺃﺗﺸﻬﺪﻳﻦ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ .ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻭﺍﻟﺒﻌﺚﺣﻖ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻭﺃﻥ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﺍﻟﻨﺎﺭ ﺣﻖ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻓﻠﻤﺎﻓﺮﻍ، ﻗﺎﻝ : ﺍﻋﺘﻖ ﺃﻭ ﺃﻣﺴﻚ !
“Dari Ibnu Juraij, ia berkata:
Aku dikhabarkan oleh `Atha`, bahwasanya seorang laki-laki memiliki seorang
budak perempuan yang dipekerjakannya untuk mengembalakan kambingnya dan
kambing-kambing ini merupakan kambing pilihan – yakni dari kambingnya yang
banyak itu-. Kemudian ia bermaksud memberikannya (kambing tersebut) kepada
Nabi Saw. Lalu tibalah binatang buas dan menerkam kambingnya. Si laki-laki
kemudian marah dan menampar wajah budak perempuan. Si laki-laki lantas
mendatangi Nabi Saw dan menyebutkan semua yang terjadi kepada Nabi Saw.
Ia juga menyebutkan bahwa ia
mesti membebaskan seorang budak yang beriman sebagai kafarah dan ia
bermaksud untuk menjadikan budak ini sebagai budak yang dibebaskannya ketika ia
menamparnya itu. Maka Rasul Saw berkata kepadanya: “Datangkanlah ia
kepadaku!”.
Rasul Saw. kemudian
menanyainya (budak wanita): “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “Bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “Kematian serta kebangkitan adalah sesuatu yang
haq?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “Surga dan neraka dalah haq?” Ia menjawab: “Iya”.
Ketika selesai dialog tersebut, Rasul Saw mengatakan: “Bebaskanlah ia atau
tetap bersamamu!”[17]
Ini
adala riwayat dengan sanad shahih, `aliy (paling dekat) kepada `Atha`
(periwayat hadits Mu`awiyah bin Hakam), sebagaimana telah diketahui.
Sudah
disebutkan sebelumnya bahwa dari segi redaksi, hadits ini diriwayatkan dengan
beberapa redaksi:
1.
Riwayat pertama diriwayatkan dengan
redaksi: ” ﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ (dimana Allah)?”.
2.
Sedangkan riwayat kedua
diriwayatkan dengan redaksiﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺪﻩ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻭﺃﺷﺎﺭﺇﻟﻴﻬﺎ ﻣﺴﺘﻔﻬﻤﺎ ﻭﻗﺎﻝ ) ﻣﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ( ﻗﺎﻟﺖ : ﺍﻟﻠﻪ (Menggunakan isyarat kepada si budak
untuk bertanya, “Siapa yang berada di langit?”).
3.
Dan riwayat ketiga dengan
redaksi “ ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ(Apakah engkau bersaksi)?”.
Beghinilah
kita lihat, redaksi hadits menyatakan bahwa Rasul Saw tidak mengatakan “Dimana
Allah?”
Pembaca
budiman cobalah perhatikan secara lebih seksama ada keraguan lagi yang ditemui
pada riwayat lain tentang hadits budak perempuan ini, yang bersumber dari
jalur selain periwayat Atha`. Bahkan riwayat berikut ini lebih meragukan lagi
dibandingkan dengan riwayat `Atha` yang sedang kita bahas ini.
RIWAYAT KEDUA
- ﻭَﺣَﺪَّﺛَﻨِﻰ ﻣَﺎﻟِﻚٌ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺷِﻬَﺎﺏٍ ﻋَﻦْ ﻋُﺒَﻴْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ
ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِﻋُﺘْﺒَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ ﺟَﺎﺀَ
ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺑِﺠَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﻟَﻪُ ﺳَﻮْﺩَﺍﺀَ ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﺇِﻥَّ ﻋَﻠَﻰَّ ﺭَﻗَﺒَﺔً ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﻓَﺈِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﺗَﺮَﺍﻫَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﺃُﻋْﺘِﻘُﻬَﺎ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – » ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّﺍﻟﻠَّﻪُ؟ .« ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ » ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ؟ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ » ﺃَﺗُﻮﻗِﻨِﻴﻦَ ﺑِﺎﻟْﺒَﻌْﺚِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ؟ ». ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ .ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – » ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ».
ﺇِﻥَّ ﻋَﻠَﻰَّ ﺭَﻗَﺒَﺔً ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﻓَﺈِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﺗَﺮَﺍﻫَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﺃُﻋْﺘِﻘُﻬَﺎ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – » ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّﺍﻟﻠَّﻪُ؟ .« ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ » ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ؟ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ » ﺃَﺗُﻮﻗِﻨِﻴﻦَ ﺑِﺎﻟْﺒَﻌْﺚِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ؟ ». ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ .ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – » ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ».
“Disampaikan kepadaku oleh Imam
Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud
bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasul Saw ia
memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul Saw
sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau
melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia. Maka Rasul Saw berkata kepadanya
(budak wanita) “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia
menjawab: “Iya”. Dan “Apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah?” ia menjawab: “Iya”. Dan “Apakah engkau meyakini adanya kebangkitan
setelah kematian?!” Ia menjawab: “Iya”. Rasul Saw kemudian mengatakan:
“Bebaskanlah ia”[18]
Dan diriwayatkan oleh Imam Abdur
Razaq[19], ia berkata: saya dikhabarkan oleh Ma`mar dari
Zhuhry dari Ubaidillah dari seorang laki-laki dari kaum Anshar dengan hadits
ini. Dan dari jalurnya (Abdul Razaq) juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad[20], sebagaimana juga diriwayatkan
oleh periwayat lain.
Adapun
tentang `Ubaidillah Bin `Abdullah Bin`Uthbah Bin Mas`ud, maka beliau adalah
salah seorang dari tujuh fuqaha di Madinah yang terkenal dan merupakan rijal
ahli hadits yang enam juga. Selain itu, beliau termasuk seorang imam yang
tsiqah. Berkata Al Hafiz Ibnu Hajar di dalam kitab Al Taqrib tentang beliau:
“Ia adalah seorang yang tsiqah, seorang faqih, diterima riwayatnya, kuat
hafalannya, tidak diketahui bahwa beliau seorang yang mudallis dan riwayat
beliau yang diriwayatkan dengan riwayat `an `anah bisa diterima sebagai
riwayat yang bersumber dari pendengaran langsung (sama`).Dan ia benar-benar
telah berkomentar tentang seorang laki-laki yang berasal dari kaum Anshar ini.
Berkata
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Sanadnya (hadits diatas) adalah sahih dan sifat
jahalah (tidak dikenal) seorang sahabat yang melekat pada dirinya tidak
mempengaruhi periwayatannya.”
Berkata Ibnu Abdil Barr, di dalam
kitabnya Al Tamhid Lima Fie Al Muwatha` Min Al Ma`anie Wa Al Asanid:
“Secara zhahir haditsnya adalah hadits mursal, akan tetapi dipercayai
bahwa haditsnya adalah terjadi ketersambungan riwayat (ittishal), karena adanya
pertemuan `Ubaidillah dengan sekelompok sahabat.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Haitsami, di dalam kitab Majma` Al Zawaid: “Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan para rijalnya adalah rijal yang sahih.”
Jelaslah bagi kita bahwa hadits
tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih Muslim dan pertanyaan Nabi
kepadanya, minimal merupakan riwayat yang mudltharib secara redaksional.
Jikalau kita ambil dengan cara mentarjih dengan berdasarkan syahid[21] dan indikasi yang mendukungnya, maka
riwayat dengan redaksi: ”ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ (Apakah engkau bersaksi)?” adalah riwayat yang rajih
(terkuat). Karena riwayat ini sesuai dengan akidah Islam secara yakin dan
merupakan hadits yang paling sahih jika di pandang dari sisi sanad.
Jika
dipandang dari seluruh sisi, kita tidak boleh mengambil riwayat yang
mengatakan: “Dimana Allah?” berdasarkan zahir (makna yang langsung dipahami)
dari lafaznya. Oleh karena itu riwayat ini ditakwil oleh para ulama, seperti
Imam Nawawi, Qadhi Ibnu Al `Arabi, al Bajiy dan masih banyak selain
mereka.
Imam
Nawawi berkata dalam menjelaskan tentang hadits mudltharib: Hadits mudltharib
adalah hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai redaksi yang berbeda namun
berdekatan. Apabila ditarjih salah satu riwayat, maka tarjih dengan
cara melihat hafalan periwayatnya atau melihat banyaknya sahabat yang
meriwayatkan tentang hadits ini, atau dengan cara selain itu.
Maka kemudian baru bisa dihukumi bahwa hadits tersebut adalah hadits yang
rajih, sehingga tidak lagi menjadi hadits yang mudltharib. Dan
idlthirab menyebabkan sebuah hadits menjadi dha`if (lemah) karena hadits
menunjukkan ketidakpatenan (dhabit) dalam meriwayatkan. (Idlthirab) ini
kadang bisa terjadi pada sanad dan kadang bisa terjadi pada matan (redaksi)
hadits. Pada kedua keadaan, (idlthirab) bisa jadi bersumber dari satu
periwayat atau dari banyak periwayat.
Al Hafidz Ibnu Daqid Al `Id di
dalam kitab Al Iqtirah, memaparkan: Hadits mudltharib adalah hadits
yang diriwayatkan dengan pelbagai redaksi yang berbeda-beda dan ini
merupakan salah satu yang menyebabkan hadits memiliki illat menurut mereka
(kalangan ahli hadits) dan menyebabkan hadits berkedudukan dha`if (lemah).
DIANTARA SYAHID YANG MEMPERKUAT
HADITS DENGAN RIWAYAT ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ (APAKAH ENGKAU
BERSAKSI)?”
Syahid adalah hadits lain yang
diriwayatkan senada secara makna, namun berbeda secara redaksi. Sedangkan
laki-laki yang disebutkan pada beberapa riwayat hadits yang disebutkan pada
pembahasan ini semuanya dimaksudkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam[22]
Pertama, hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Al Darimiy [23];
ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺍﻟﻄﻴﺎﻟﺴﻲ ﺛﻨﺎ ﺣﻤﺎﺩ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦﻋﻤﺮﻭ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ
ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻳﺪ ﻗﺎﻝ : ﺃﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ ﺇﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻲ ﺭﻗﺒﺔ ﻭﺇﻥ
ﻋﻨﺪﻱ ﺟﺎﺭﻳﺔﺳﻮﺩﺍﺀ ﻧﻮﻳﺒﻴﺔ ﺃﻓﺘﺠﺰﻯﺀ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﺩﻉ ﺑﻬﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺗﺸﻬﺪﻳﻦ ﺃﻥﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ؟
ﻗﺎﻟﺖ : ﻧﻌﻢ . ﻗﺎﻝ : ﺍﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ !
“Pada bab “Apabila seseorang mesti
membebaskan seorang budak beriman”. Dikhabarkan kepada kami oleh Al Walid Al
Thayalisiy bersumber dari Hamad Bin Salamah dari Muhammad Bin `Amru dari Abu
Salamah dari Syarid, ia berkata: Aku mendatangi Rasul Saw dan aku berkata bahwa
saya mesti membebaskan seorang budak perempuan dan saya memiliki seorang budak
perempuan berkulit hitam dari suku Nuwaibah, apakah cukup dengan membebaskannya
sebagai kafarah bagiku? Rasul Saw berkata: “Panggillah ia!” maka Rasul Saw
kemudian bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia
menjawab: “Iya”. Rasul memerintahkan: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia
adalah seorang yang beriman.”
Berkata
Husain Salim Asad: sanadnya hasan karena adanya periwayat hadits yang bernama
Muhammad Bin `Amru.
Kedua, hadist yang diriwayatkan oleh Al Thabraniy[24];
ﺭﻭﻯ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼ ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ,ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﻋَﻠَﻲَّ ﺭَﻗَﺒَﺔً ﻭَﻋِﻨْﺪِﻱ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٌ
ﺳَﻮْﺩَﺍﺀُ ﺃَﻋْﺠَﻤِﻴَّﺔٌ , ﻓَﻘَﺎﻝَ :ﺍﺋْﺘِﻨِﻲ ﺑِﻬَﺎ , ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ
ﺃَﻥْ ﻻ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻ ﺍﻟﻠَّﻪُ؟ ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ ,ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻧِّﻲ
ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ؟ ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ, ﻗَﺎﻝَ :ﻓﺄَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ !
Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas
bahwasanya seorang laki-laki mendatangi Rasul Saw dan ia berkata:
Sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman dan saya memiliki
seorang budak berkulit hitam dari kalangan non Arab. Rasul Saw berkata:
“Bawalah ia kesini!”. Rasul Saw kemudian menanyainya: “Apakah
engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia berkata: “Iya”.
Kemudian beliau berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah?
Ia menjawab: “Iya”. Rasul Saw kemudian memerintahkan: “Bebaskanlah ia!” Al
Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsamy di dalam kitabnya Majma` Al Zawaid,
berkomentar: Pada sanad hadits ada seorang periwayat yang bernama Muhammad
Bin Abi Layla dan beliau adalah seorang yang jelek hafalannya, tetapi beliau
sebelumnya adalah seorang yang tsiqah.
Ketiga, hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dengan redaksi: “Siapa tuhanmu?” yang juga
merupakan hadits sahih secara sanad[25];
ﺭﻭﻯ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻳﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﻮﻳﺪ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ، ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪﺇﻥ ﺃﻣﻰ
ﺃﻭﺻﺖ ﺃﻥ ﻧﻌﺘﻖ ﻋﻨﻬﺎ ﺭﻗﺒﺔ ﻭﻋﻨﺪﻯ ﺟﺎﺭﻳﺔ ﺳﻮﺩﺍﺀ،ﻗﺎﻝ : ﺍﺩﻉ ﺑﻬﺎ! ﻓﺠﺎﺀﺕ ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﻦ ﺭﺑﻚ؟
ﻗﺎﻟﺖ : ﺍﻟﻠﻪ، ﻗﺎﻝ : ﻣﻦﺃﻧﺎ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ . ﻗﺎﻝ : ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ !
“Diriwayatkan dari Syarid Bin
Suwaid Al Tsaqafiy,ia berkata: aku berkata: Wahai Rasul saw, sesungguhnya ibuku
telah mewasiatkan kepadaku untuk membebaskan seorang budak atas dirinya dan
saya memiliki seorang budak berkulit hitam.Rasul Saw berkata: “Panggilah ia!”
Maka datanglah budak itu dan Rasul Saw bertanya:“Siapa tuhanmu?” Ia menjawab:
“Allah”. Rasul Saw. bertanya lagi: “Siapa saya?” Ia menjawab: “Utusan Allah.”
Rasul Sawberkata: “Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman.” Riwayat ini semakna dengan
riwayat yang memiliki redaksi ” ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ (apakah engkau bersaksi)?”
HADITS-HADITS INI TIDAK TERDAPAT DI DALAM KUTUB
AL SITTAH
Apabila ada yang mengklaim bahwa
hadits-hadits yang dijadikan rujukan dalam pembahasan ini tidak terdapat di
dalam kutub al sittah (Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan
Abi Daud, Sunan Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah) sehingga tidak bisa
diterima, dijadikan pedoman dan pijakan kita, apalagi dalam masalah akidah,
mari kita perhatikan komentar Al Hafiz Abu Al Fadl `Abdillah Muhammad
Shiddiq Al Ghumary [26]:
Bila ada yang menolak hadits dengan
statement bahwa “Hadits ini tidak ditemui di dalam dua kitab sahih
(Bukhari-Muslim), atau tidak diriwayatkan oleh kutub al sittah”. Pernyataan
seperti ini, akan disangka oleh orang-orang yang sedikit ilmu, bahwa
setiap hadits yang tidak diriwayatkan di dalam dua kitab sahih (Bukhari-Muslim)
dan juga tidak diriwayatkan di dalam kutub al sittah lainnya, adalah
hadits dha`if atau maudhu`! Pernyataan ini sesungguhnya adalah statement bathil
yang tidak berdasarkan kepada pijakan ilmu yang benar, akan tetapi sebagai
bagian dari bid`ah yang mereka munculkan pada zaman sekarang ini. Tidak
ada di dunia ini seorangpun `alim, fuqaha` mujtahid, dan para muhadits yang
hafiz mensyaratkan bahwa standar kesahihan hadits harus diriwayatkan di dalam
salah satu kutub sittah! Akan tetapi ulama sepakat bahwa “Hadits apabila
memenuhi persyaratan sahih, wajib beramal dengan hadits tersebut, baik
diriwayatkan di dalam kutub sittah ataupun tidak.
STUDI KRITIS DAN ANALISA TERHADAP HADITS
Apakah
pertanyaan “Dimana Allah?” yang biasa digunakan untuk menanyakan tempat secara
indrawi menunjukkan terhadap ketuhanan Zat yang ditanyakan? Dengan kata
lain: Apakah pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui bahwa si budak
wanita seorang yang murni menyembah Allah atau menyekutukan Allah dengan
sembahan lainnya? Si budak wanita -yang ditanya oleh Rasul Saw.,- adalah
seorang yang telah hidup di Arab dengan keyakinan penduduk yang
menyektukan Allah dengan sembahan mereka berupa berhala.
Jikalau
demikian, bukankah sebagian orang Arab juga menyembah berhala sebagai Tuhan
mereka yang berada di bumi dan mereka juga mengakui adanya Tuhan di
langit?! Menilik kepada sejarah, bukankah sudah ada sebagian umat yang
menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, dan ini telah disebutkan
oleh Al Quran?! Ternyata Tuhan-tuhan mereka adalah di langit juga!
Maka
pertanyaan yang disebutkan “Dimana Allah?” tidak bisa diklaim untuk menunjukkan
terhadap ketuhanan dan jawaban yang ada di dalam redaksi hadits “di
langit” juga tidak tidak menunjukkan terhadap ketauhidan!
Maka
atas dasar apa disebutkan riwayat yang syadz dan tertolak ini, bahwa Rasul Saw
bersaksi terhadap keimanan budak wanita?!
Contoh-contoh
dari hadits sebelumnya dan sesudahnya menguatkan bahwa yang diinginkan sebagai
bukti terhadap keislaman seseorang adalah syahadat bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Bukan persaksian bahwa
Allah -sebagaimana mereka katakan- memiliki tempat, yaitu di langit!
Maka pertanyaannya sebenarnya
ditujukan untuk menyatakan bahwa Allah tinggi secara maknawi bukan secara
indrawi, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab syarah Sahih
Muslim. Hal senada juga disebutkan oleh Imam Al Ghazali.[27]
AKIDAH DAN HADITS AHAD
Sesungguhnya
akidah kaum muslim tidaklah dibangun, kecuali di atas keyakinan yang bersifat
qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin) serta tidak mungkin dibangun ditas
dalil-dalil yang bersifat zhanniy. Para ulama tauhid sepakat bahwa sumber
dalil-dalil pada permasalahan akidah harus bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy
(yakin), baik diambil dari dalil naqli maupun dalil aqly.
Dzhan
sebagaimana diketahui adalah segala sesuatu yang secara umum adalah benar, akan
tetapi ada potensi terdapatnya kesalahan. Jikalau hadits Ahad termasuk ke dalam
kategori zhanniyyat (dalil-dalil yang bersifat zhanny), maka tidak bisa
berdalil dengannya dalam masalah akidah, sebagaimana dijelaskan pada
beberapa pernyataan berikut:
1.
Berkata Al Hafiz Al Khatib Al
Baghdady, di dalam kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih: Dan apabila
seorang, yang bisa dipercaya, yang tsiqah meriwayatkan sebuah khabar yang
bersambung sanadnya, bisa ditolak periwayatannya dengan beberapa perkara; salah
satunya, apabila riwayatnya bertentangan dengan dalil `aqli (hukum akal),
maka bisa langsung diketahui bahwa riwayat tersebut adalah bathil!
2.
Berkata Imam Nawawi di dalam
Syarah Sahih Muslim: Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits Ahad di
dalam Shahih Bukhari dan Sahih Muslim bisa menghasilkan ilmu, beda halnya
dengan riwayat selainnya (Bukhari-Muslim) terhadap hadits-hadits ahad. Kami
telah menyebutkan masalah ini sebelumnya dan kami juga membatalkan
pendapat ini, pada beberapa sub bab. Kemudian (Imam Nawawi) berkomentar
-setelah beberapa baris-: dan adapun yang berkata: khabar Ahad menghasilkan
ilmu, maka ini adalah mengabaikan fungsi indra manusia, bagaimana mungkin
menghasilkan ilmu,sedangkan kemungkinan salah, waham, bohong dan selainnya
sangat mungkin disematkan kepadanya. Wallahu a`lam.
KETERANGAN SECARA JELAS PARA IMAM, HUFAZH DAN
PAKAR HADITS TERHADAP STATUS HADITS YANG MENCERITAKAN KISAH BUDAK WANITA
INI SEBAGAI HADITS MUDLTHARIB
Imam
Baihaqi
Sebagaimana
telah disebutkan di awal kajian, Imam Baihaqi menyatakan: Hadits ini
adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari
hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi
Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia
meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat
pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di
dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para
periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari
segi redaksi hadits. Imam Baihaqi juga menyebutkan secara terang dan jelas
bahwa hadits ini bukan merupakan bagian dari hadits Sahih Muslim.
Dari
sisi lain yang sangat penting diperhatikan,Imam Baihaqi menyebutkan secara
terang bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, maksudnya terjadi
perbedaan para periwayat hadits dari segi redaksional hadits. Jikalaupun
diterima riwayat Imam Muslim, maka hadits ini adalah hadits mudltharib, tanpa
diragukan dibimbangkan lagi, sebagaimana telah kita tetapkan pada bagian-bagian
sebelumnya ketika mengkaji jalur hadits.
Dari
sisi ketiga, hadits tentang kisah budak wanita ini juga tidak disebutkan oleh
Imam Muslim pada bab pembebasan budak, juga bukan pada bab sumpah dan nazar.
Ini merupakan penguat pernyataan Imam Baihaqi dan selain beliau.
Imam
Al Hafiz al Bazzar
Di dalam kitab Kasyfu Al
Astar: Imam al Bazzar juga menyatakan dengan terang bahwa hadits ini
adalah hadits yang mudltharib di dalam kitab musnad beliau. Beliau berkata
setelah meriwayatkan hadits dari salah satu jalur dari pada jalur-jalur
yang ada: “Dan hadits ini juga diriwayatkan semisal dengannya dengan
redaksi yang berbeda-beda”.
Al
Hafiz Ibnu Hajar
Ibnu Hajar di Dalam kitab Al
Talkhis Al Habir,menyatakan secara jelas dan terang bahwa hadits ini adalah
hadits yang mudltharib dan beliau berkomentar: “Dan pada lafaz hadits
terjadi perbedaan yang sangat banyak”.
Ibnu Hajar di dalam kitab Fath
Al Bari, juga menyebutkan secara jelas bahwa tidak boleh meyakini “Dimana”
kepada Zat Allah dan tidak diamalkan hadits ini, meskipun sanadnya
sahih menurut beliau, akan tetapi ini disebabkan karena idlthirab pada
hadits! Karena idlthirab pada hadits menyebabkan sebuah hadits
berkedudukan dha`if, meskipun sanadnya sahih. Oleh karen itu Al
Hafiz berkomentar: Sesungguhnya pengetahun akal terhadap rahasia-rahasia
Ilahi sangatlah terbatas, tidak mungkin dihukumi Allah dengan pertanyaan
“kenapa” dan “bagaimana?” Sebagaimana juga tidak bisa diajukan pertanyaan
“dimana” dan “dalam kondisi apa?”
Oleh
karena itu pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy adalah
konsekuensi dari pertanyaan “dimana?” dan “bagaimana?”,
meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut! Meskipun pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan “jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy”, ini tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!
meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut! Meskipun pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan “jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy”, ini tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!
Ketika
anda menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy atau di atas langit itu
artinya anda sudah duluan menentukan kaifiyah terhadap Allah dengan
menetapkan langit atau `arsy sebagai tempat Allah berada. Ketika ini
disampaikan kepada orang lain maka anda sudah membuat orang berfikir.
Ketika
anda sudah dahuluan memikirkan zat Allah dan membuat orang berfikir
kemudian anda melarang orang memikirkan tentang kaifiah zat Allah! Justru
pemikiran anda yang seperti ini sangat sulit dipahami oleh orang lain, karena kontradiktif
secara akal!
Maka
dengan pernyataan-pernyataan para ulama hadits seperti disebutkan, kita bisa
meyakini seyakin-yakinnya dan tidak diragukan lagi terhadap status dan
kedudukan hadits tentang budak wanita yang mudltharib, yang dipandang
berdasarkan kaidah ilmu hadits (ilmu Mushtalah Hadits) yang juga diperkuat oleh
keterangan secara jelas para ahli hadits dari dulu sampai sekarang.
Oleh
karena itu tidak mungkin lafaz hadits dijadikan `Illat (pijakan). Sebagaimana
juga dijelaskan bahwa hadist yang diriwayatkan dengan redaksi “Apakah engkau
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” adalah merupakan riwayat yang
paling sahih.
Jikalau
seandainya dilakukan tarjih, diantara riwayat-riwayat yang ada, maka riwayat
yang paling rajih- tidak diragukan lagi- adalah riwayat dengan redaksi “Apakah
engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Karena riwayat ini
merupakan riwayat yang paling sahih dan yang bisa diyakini sesuai dengan apa
yang selalu dilakukan oleh Nabi Saw. Jikalau kita telisik kembali lembaran
sejarah Nabi Sawakan kita temui bahwa beliau selalu menyuruh seseorang yang
masuk Islam atau menanyakan keimanan seseorang dengan syahadatain (dua
syahadat). Kisah-kisah seperti ini telah diriwayatkan kepada kita secara
mutawatir bahwa beliau menyuruh manusia, memerangi mereka dan menguji keimanan
mereka dengan syahadatain (dua syahadat). Oleh karena itu maka riwayat “Dimana
Allah?” merupakan riwayat syadz yang diingkari.
HADITS-HADITS NABI SAW YANG MENYATAKAN BUKTI
KEISLAMAN SESEORANG, DENGAN “BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”,
BUKAN MENANYAKAN “DIMANA ALLAH?”
Hadits riwayat Bukhari[28]
ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝﻻﺑﻦ ﺍﻟﺼﻴﺎﺩ :
) ﺃﺗﺸﻬﺪ ﺃﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ (؟
Diriwayatkan oleh Bukhari dari
hadits Ibnu `Umar, bahwasanya Nabi Saw., berkata kepada Ibnu Shayyad: Apakah
engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?
Hadits Bukhari – Muslim[29]
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻊ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : ﺃﻣﺮﺕﺃﻥ ﺃﻗﺎﺗﻞ
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﺘﻰ ﻳﺸﻬﺪﻭﺍ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
Dari Ibnu `Umar bahwasanya Rasul
Saw.bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah! Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Suyuthi
berkomentar: hadits ini adalah hadits mutawatir[30]
Hadits Sahih Muslim[31]
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺃﻥ ﻣﻌﺎﺫﺍ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ :
ﺇﻧﻚ ﺗﺄﺗﻲ ﻗﻮﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻓﺎﺩﻋﻬﻢ ﺇﻟﻰﺷﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
Dari Ibnu `Abbas bahwasanya Mu`adz
berkata:Aku diutus oleh Rasul Saw, beliau berkata: sesungguhnya engkau akan
mendatangi sebuah kaum dari golongan ahlul kitab. Maka serulah mereka
untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah.
Hadits Sahih Muslim[32]
ﺭﻭﻯ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻧﻌﻠﻴﻪ، ﻗﺎﻝ : ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺍﺫﻫﺐﺑﻨﻌﻠﻲ
ﻫﺎﺗﻴﻦ ﻓﻤﻦ ﻟﻘﻴﺖ ﻣﻦ ﻭﺭﺍﺀ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺎﺋﻂ ﻳﺸﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺴﺘﻴﻘﻨﺎ ﺑﻬﺎ ﻗﻠﺒﻪ ﻓﺒﺸﺮﻩ
ﺑﺎﻟﺠﻨﺔ .
Diriwayatkan dari Rasul Saw. Wahai
Abu Hurairah pergilah engkau dengan membawa kedua sandalku ini, siapapun yang
engkau temui di balik kebun ini yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan meyakini (syahadat itu) di hati mereka, maka
kabarkanlah mereka dengan surga!
kabarkanlah mereka dengan surga!
Hadits Sahih Muslim[33]
ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺘﺒﺎﻥ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺃﺣﺒﻮﺍ ﺃﻥﻳﺪﻋﻮ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﺑﻦ ﺩﺧﺸﻢﻟﻴﻬﻠﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺃﻟﻴﺲ
ﻳﺸﻬﺪ ﺃﻥﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺇﻧﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺫﻟﻚ ﻭﻣﺎ ﻫﻮﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ . ﻗﺎﻝ ﻻ
ﻳﺸﻬﺪ ﺃﺣﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪﻓﻴﺪﺧﻞ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺃﻭ ﺗﻄﻌﻤﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺲ ﻓﺄﻋﺠﺒﻨﻲ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚﻓﻘﻠﺖ ﻻﺑﻨﻲ ﺍﻛﺘﺒﻪ ﻓﻜﺘﺒﻪ
Hadits `Itban bin Malik, ia
berkata: Sesungguhnya sekelompok sahabat Rasul Saw berharap agar Rasul Saw
mendoakan Malik Bin Dukhsyum celaka. Rasul Saw menjawab: Bukankah ia bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah? Mereka menjawab:
sesungguhnya ia mengatakan itu hanyalah di lisan saja dan ia tidak
meyakini di hatinya. Rasul Saw bersabda: Tidak ada seorangpun yang besaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah akan masuk
neraka dan dimakan oleh neraka. Anas berkata: Hadits ini mengagumkanku, maka
aku berkata kepada anakku: Tulislah hadits ini! Maka ia pun menulisnya.
Inilah
sekelumit pemaparan hadits dan selain hadits-hadits ini sangat banyak sekali
-bahkan sampai derajat mutawatir- semuanya menguatkan kita untuk
merajihkan riwayat hadits dengan redaksi: ﺍﺗﺸﻬﺪﻳﻦ ﺃﻥ ﻻ
ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ
(apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)?. Disamping hadits
ini merupakan hadist yang paling sahih sanadnya.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan tentang hadits budak wanita yang dibebaskan Rasul Saw ini kita
ketahui bahwa:
1.
Hadits yang diriwayatkan dengan
redaksi: ﺍﺗﺸﻬﺪﻳﻦ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah)? adalah
hadits yang paling sahih secara sanad dan paling kuat pegangan untuk beramal
dengannya, terutama dalam masalah akidah.
2.
Hadits Sahih Muslim dengan
redaksi pertanyaan Rasul Saw: ﺃﻳﻦ
ﺍﻟﻠﻪ؟
(dimana Allah)? dan jawaban budak wanita: ﻓﻰ
ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ adalah hadits mudltharib - sebagaimana diakui oleh para imam
dan pakar hadits- yang tidak sah dijadikan pijakan di dalam masalah akidah.
Pertanyaan Rasul Saw dan jawaban budak yang selalu dijadikan pegangan
dalil, bisa diyakini bukanlah bersumber dari Rasul Saw dan budak wanita, akan
tetapi bersumber dari periwayat hadits.
3.
Tidak dijadikannya Hadits Sahih
Muslim sebagai landasan berdalil dikuatkan oleh; bahwa hadits ini bertentangan
dengan dalil yang qath`iy (tegas) dan yaqini (yakin), baik itu secara
naqli maupun secara `aqli serta bertentangan dengan ijma` kaum muslimin dari
dulu sampai sekarang bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya dan Allah tidak
bertempat/butuh kepada tempat layaknya makhluq.
Oleh
karena itu maka keyakinan bahwa Allah berada di langit tidak bersandarkan
kepada dalil yang sahih dan kuat. Adapun orang awam dan anak-anak yang
biasa mengatakan/mengisyaratkan bahwa Allah berada di langit tidaklah bisa
dijadikan pijakan dalil, karena hanya itulah kemampuan mereka untuk
menunjukkan wujud Allah. Orang awam atau anak-anak kecil ketika
mengucapkan/mengisyaratkkan hal tersebut sangat ditoleransi oleh syariat,
tidak dianggap bid`ah apalagi kafir, akan tetapi dipahami perkataan mereka
dengan makna majaz, bahwa maksud mereka adalah ketinggian Allah Yang Maha
Kamal tidak sama dengan semua makhluq!
Apakah
mungkin orang-orang yang berilmu akan berdalil dengan perbuatan orang awam dan
anak- anak?! Beghitu juga halnya bahwa ketika kita berdo`a dengan
menengadahkan tangan ke langit, bukan berarti Allah berada di langit, tapi
karena langit adalah kiblatnya do`a, sebagaimana Ka`bah adalah kiblatnya
shalat!
Kepada
sahabat-sahabat yang berpegang teguh dengan hadits tentang budak wanita yang
diriwayatkan di dalam sahih Muslim ini saya ajak untuk tidak fanatis dengan
doktrinan sepihak.
Bukalah
fikiran sejernih-jernihnya dan lapangkanlah hati untuk menerima
dan menganalisa ilmu yang diperoleh oleh orang lain.
Saya
yakin bahwa tidak ada yang ma`shum, selain Rasulullah Saw. Kenapa tidak mencoba
mengkritisi apa yang disampaikan oleh guru kita dan mencoba menanyakan
akal, apakah masih netral dan objektif?
Kita
selalu mendakwa bahwa al haq (kebenaran) lebih didahulukan daripada figuritas
seseorang! Jikalau benar demikian, bukankah kebenaran tidak hanya
dimonopoli oleh guru-guru yang semanhaj dengan kita?! Jikalau kita mengaku
bahwa kita adalah orang yang kuat berpegang dengan al Qur`an dan sunnah
-jikalau benar demikian-, adalah tidak layak bila mengambil secara parsial atau
tidak mengkaji secara detail kesahihan nash syariat yang kita terima?
Generasi salaf itu sangat banyak, maka adalah sangat aib bila kita memilah
dan memilih salaf yang kita pedomani dengan mengabaikan salaf yang lain!
Sahabat
tidak mesti menerima orang lain, tapi tidak bijak bila menolak analisa orang
lain, hanya karena alasan berbeda dengan apa yang diyakini! Jikalau
sahabat selalu mendakwa bahwa pemahaman sahabat adalah pemahaman generasi
salaf, sekali-kali bertanyalah kepada diri sahabat, apakah benar pemahaman
generasi salaf seperti yang saya pahami dan seperti yang saya aplikasikan?!
Jikalau
generasi salaf merupakan orang yang tunduk kepada kebenaran dan sangat
tawadhu`, kenapa kita tunduk kepada guru doktrinan guru saja dan terlalu sulit
menerima orang lain yang beda manhaj?! Jikalau generasi salaf sangat
mendahulukan husnuzhan kepada saudaranya, kenapa kita justru
mendahulukan su`u zhan kepada saudara kita yang sama-sama muslim?!
Satu hal yang tidak boleh dilupakan
bahwa kita sama-sama bermaksud untuk menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi
Allah dan menafikan segala sifat yang menunjukkan kekurangan, aib dan
kelemahan.Wallahu a`lam.
Referensi dan rujukan kajian :
1.
Al Qur`an Al Karim
2.
Kitab-kitab hadits dan sunan
3.
DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya
`Aqaid Al Mu`Ashirah Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al
Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009
4.
Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad
Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, editing dan komentar:
DR. Musthafa `Imran.
5.
Abu Hamid Al Ghazaly, Iljam Al
`Awwam `An Ilmi Al Kalam, Al Maktabah Al Azhariyyah li al Turats, Kairo.
6.
Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al
Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan
komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
7.
Taqiyyuddin Al Subky, Al Saif Al
Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al
Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
8.
Taqiyyuddin Abi Bakar Al Hishniy Al
Dimasqiy, Daf`u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, Al Maktabah Al Azhariyyah Li
Al Turats, Kairo,editing dan komentar: Muhammad Zahid AlKautsary, 2010.
9.
`Abdurrahman Abi Al Hasan Al
Jauziy, Daf`u Syubhat al Tasybih, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats,
Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
10.
Muhammad Zahid Al Kautsary di dalam
editing dan komentar terhadap kitab Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al
Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar:
Muhammad Zahid Al Kautsary.
11.
Muhammad Zahid al Kautsary di dalam
editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie
Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al
Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
12.
Al Hafiz Abu al Fadl `Abdillah
Muhammad Shiddiq Al Ghumary, Nihayat Al Amal Fie Shihati Wa Syarh Hadits `Ardl
Al A`mal, Maktabah al Qahirah, Kairo, 2006.
13.
DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al
Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali, Fak. Ushuluddin Al Azhar
University, Kairo, 2010.
14.
DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat
Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al
Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010
15.
DR. Manshur Muhammad Muhammad
`Uwais, Ibnu Taimiyyah Laisa Salafiyyan, Dar Al Nahdah Al `Arabiyyah,
Kairo, cet. ke I, 2010.
16.
DR. Muhammad Abdil Fadhil Al Qushy,
Hawamisy ` Ala Al `Aqidah Al Nizhamiyyah Li Al Imam Al Haramain, Maktabah Iman,
Kairo, cet. ke II, 2006.
17. DR. Ahmad
`Umar Hasyim, Qawaid Ushul Al Hadits, Fak. Ushuluddin Al Azhar University,
Kairo.
Jikalau sebagian kawan-kawan ketika mendakwa bahwa Al
Quran menyatakan bahwa Allah berada di atas arsy dan atau diatas langit.
Dakwaan mereka bermula dari pemahaman tekstual terhadap : QS:Thaahaa: 5
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas ‘Arsy.”
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas ‘Arsy.”
dan ayat semisalnyal, kemudian menyimpulkan bahwa Allah berada di atas `arsy atau berada di atas langit.
Jikalau demikian titik tolok memahaminya, mari kita perhatikan sebagian ayat- ayat Al Qur`an di bawah ini dan kita pahami secara tekstual juga.
Apakah ayat-ayat berikut singkron dengan pemahaman mereka atau justru terjadi
kotradiktif:1. QS: An Nahal: 128:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّﻪَ ﻣَﻊَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﻘَﻮﺍْ ﻭَّﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻫُﻢ ﻣُّﺤْﺴِﻨُﻮﻥَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
2. QS: Al Ankabut: 69
ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻤَﻊَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Jika kita lihat 2 ayat di atas secara tekstual, maka akan kita pahami bahwa Allah secara Zat bersama mereka yang bertaqwa dan berbuat baik. Berarti Allah turun dari `arsy?!
3. QS: Al Hadid: 4
ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻓِﻲ ﺳِﺘَّﺔِ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺛُﻢَّ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻳَﻠِﺞُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎﻳَﻨﺰِﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻌْﺮُﺝُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨﺘُﻢْ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Pada satu ayat yang sama Allah menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy dan di akhir ayat Allah menyatakan bahwa Allah berada bersama
hambaNya di mana saja hambaNya berada.
4. QS; Al Mujadilaah: 7
ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻣَﺎﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦ ﻧَّﺠْﻮَﻯ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺧَﻤْﺴَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ
ﺳَﺎﺩِﺳُﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﻣِﻦ ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﻟَﺎ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎﻛَﺎﻧُﻮﺍ
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada.
Jikalau kita pahami secara tekstual Allah adalah ke 4 diantara 3 orang dan Allah adalah yang ke 6 diantara 5 orang yang berbicara. Dan Allah bersama mereka dimana saja mereka berada.
5. QS: Al Baqarah: 186
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟَﻚَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻋَﻨِّﻲ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﻗَﺮِﻳﺐٌ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
6. QS: Qaaf: 16
ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﺣَﺒْﻞِ ﺍﻟْﻮَﺭِﻳﺪِ
Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,
7. QS: Al Waqi`ah: 85
ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜِﻦ ﻟَّﺎ ﺗُﺒْﺼِﺮُﻭﻥَ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kam,.Tetapi kamu tidak melihat.
Jikalau kita pahami secara tekstual 3 ayat di atas, maka Allah sangat dekat sekali dengan kita, bagaimana mungkin berada di atas `arsy yang jauh dari kita, bahkan kita tidak tahu `arsy itu sendiri dimana. Langit itu sendiri entah dimana, yang jelas nun jauh lebih jauh dari pandangan mata kita!
8. QS:Al An`am: 3
ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ
Dan Dialah Allah, baik di langit maupun di bumi;
9. QS: Al Zukhruf: 84
ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀ ﺇِﻟَﻪٌ ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺇِﻟَﻪٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﺤَﻜِﻴﻢُ
ﺍﻟْﻌَﻠِﻴﻢُ
Dan Dia-lah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Bukankah dua ayat di atas menjelaskan bahwa Allah ada di langit dan di bumi, bukan hanya di langit saja atau di atas `arsy!
10. QS: Al `Alaq: 19
ﻛَﻠَّﺎ ﻟَﺎ ﺗُﻄِﻌْﻪُ ﻭَﺍﺳْﺠُﺪْ ﻭَﺍﻗْﺘَﺮِﺏْ
Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan),
Bukankah Allah menyuruh kita bersujud kemudian mendekat kepada Nya?! Apakah mungkin kita disuruh sujud dan disuruh mendekat sementara Allah jauh di atas arsy atau di atas langit?!
11. QS: Maryam: 52
ﻭَﻧَﺎﺩَﻳْﻨَﺎﻩُ ﻣِﻦ ﺟَﺎﻧِﺐِ ﺍﻟﻄُّﻮﺭِ ﺍﻟْﺄَﻳْﻤَﻦِ
Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur
12. QS: Al Qashash: 30
ﻧُﻮﺩِﻱ ﻣِﻦ ﺷَﺎﻃِﺊِ ﺍﻟْﻮَﺍﺩِﻱ ﺍﻟْﺄَﻳْﻤَﻦِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒُﻘْﻌَﺔِ ﺍﻟْﻤُﺒَﺎﺭَﻛَﺔِ ﻣِﻦَﺍﻟﺸَّﺠَﺮَﺓِ ﺃَﻥ ﻳَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﻧَﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺭَﺏُّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ
Diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam,
Pada
dua ayat di atas dari mana kah Allah menyeru Nabi Musa?! Apakah Allah menyeru
dari langit atau dari aats `arsy?!
13. QS: Al Baqarah: 115
ﻓَﺄَﻳْﻨَﻤَﺎ ﺗُﻮَﻟُّﻮﺍْ ﻓَﺜَﻢَّ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠّﻪِ
Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
13. QS: Al Baqarah: 115
ﻓَﺄَﻳْﻨَﻤَﺎ ﺗُﻮَﻟُّﻮﺍْ ﻓَﺜَﻢَّ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠّﻪِ
Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Kemanapun kita menghadap, ada Allah, kita mendapatiNya selalu, bukan hanya saat
menengadahkan tangan ke langit!
14. QS: Al Ra`d: 2
ﺍﻟﻠّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺭَﻓَﻊَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋَﻤَﺪٍ ﺗَﺮَﻭْﻧَﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻋَﻠَﻰﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻭَﺳَﺨَّﺮَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲَ ﻭَﺍﻟْﻘَﻤَﺮَ
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Di ayat ini baru dijelaskan bahwa Allah berada diatas arsy.
Kesimpulan Jikalau ayat-ayat diatas dipahami keseluruhan
secara tekstual, maka akan kita pahami bahwa kebanyakan ayat justru menjelaskan Allah berada di bawah, di alam ini, bukan berada di atas langit atau di atas `arsy. Meskipun sebagiannya tetap menegaskan Allah berada di langit. Ini artinya secara sekilas nampak kotradiktif tentang tempat keberadaan Allah sesungguhnya.
Saya yakin sahabat-sahabat saya tidak akan mengambil sebagian ayat al Qur`an dan mengabaikan sebagian yang lain. Karena ini bukan ciri-ciri seorang muslim yang baik, apalagi dikatakan sebagai manhaj salaf!
Saya juga yakin, bahwa kita tidak akan mengambil makna secara zahirnya (makna yang langsung di pahami dari lafaz), karena akan menyebabkan kita
menyatakan Allah berada pada beberapa tempat yang disebutkan oleh ayat.
Berarti tidak ada jalan lain selain;
1. Tafwidl (takwil ijmaly/global),
mengimani
bahwa apa yang disampaikan oleh Allah dan Rasul Saw adalah haq, makna yang
mereka maksudkan adalah haq, dan kita tidak memaksa diri untuk mengetahuinya
secara rinci, namun kita mesti menafikan makna yang dipahami secara
langsungdari tekstual.
2. Takwil tafshily (takwil secara rinci),
memahami
setiap nash yang bermakna ambigu untuk Al Khaliq dan makhluq, dengan makna yang
sesuai dengan bahasa arab dan sifat yang layak bagi Allah. Karena setiap nama
berasal dari bahasa atau langsung dari syariat. Tentu saja kita tidak
akan melakukan takwil kepada sebagian ayat dan menghalangi sebagian
ayat sesuai dengan kehendak kita.
Menurut Ibnu Al Jauzy di dalam kitab Daf`u Syubhatu Al Tasybih, kesalahan kelompok
musyabihhah dan mujassimah dalam memahami sifat khabariyah, seperti tentang istiwa` ,
disebabkan karena;
1. Mereka menamakan khabar-khabar dengan khabar sifat, padahal realitanya hanyalah sebagai idhafat (penyandaran).
Secara kaidah dijelaskan
bahwa tidak semua idhafah bermakna sifat.
Perhatikanlah Allah berfirman :
ﻭﻧﻔﺨﺖ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺭﻭﺣﻰ
“Aku meniupkan kepadanya ruhKu”
Di sini jelas bahwa ada idhafah Allah dengan ruh.
Akan tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat ruh.
2. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan adalah hadits mutasyabihat, yang tidak diketahui makna dan maksudnya kecuali oleh Allah.
Namun kemudian mereka menafsirkannya dengan makna yang zhahir! Sangat mengherankan sekali, hal yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, akan tetapi zhahir bagi mereka!
Bukankah makna zhahir dari kalimat ﺍﺳﺘﻮﺍﺀ (bersemayam) kecuali bermakna ﺍﻟﻘﻌﻮﺩ (duduk) ?! dan kalimat ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ
(turun) tidak dipahami, kecuali bermakna ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ (perpindahan) ?!
3. Mereka kemudian menetapkan berbagai sifat
bagi Allah, sedangkan sifat yang layak bagi Allah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang layak untuk Zat Allah, yang bersifat qath`iy.
4. Di dalam masalah istbat (mentapkan sifat), mereka tidak bisa membedakan, bahwa khabar ada yang bersifat khabar masyhur seperti:
ﻳﻨﺰﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻰ ﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
Allah turun ke langit dunia
Dan ada khabar yang tidak sahih, seperti: hadits
ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺑﻰ ﻓﻰ ﺃﺣﺴﻦ ﺻﻮﺭﺓ .
Aku melihat Tuhanku pada sebaik-baik bentuk.
Akan tetapi mereka justru menetapkan sifat bagi Allah dengan hadits masyhur dan hadits yang tidak sahih ini!
5. Mereka tidak bisa membedakan antara hadits
yang marfu` (bersambungan sanad) kepada Rasul Saw., dan hadits yang mauquf (terputus sanad hanya sampai) kepada sahabat dan tabi`in, namun mereka menetapkan sifat dengan kedua hadits tersebut.
6. Mereka mentakwil sebagian lafaz pada tempat-tempat tertentu, seperti hadits:
ﻭﻣﻦ ﺃﺗﺎﻧﻰ ﻳﻤﺸﻰ ﺍﺗﻴﺘﻪ ﻫﺮﻭﻟﺔ
Dan barangsiapa yang mendatangi Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berlari.
Mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah untuk menunjukkan makna Allah memberikan nikmat.
Anehnya mereka tidak melakukan takwil pada tempat yang lain?!
7. Mereka memahami hadits-hadits berdasarkan pemahaman indrawi, oleh karena itu mereka berani
mengatakan: “Allah turun dengan zatNya dan berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain”, kemudian mereka mengatakan “bukan sebagaimana yang difikirkan!”
Mereka justru sudah duluan memikirkan dan membuat bingung orang- orang yang mendengar pernyataan mereka serta melumpuhkan indra dan akal mereka.
Menurut Ibnu Al Jauzy di dalam kitab Daf`u Syubhatu Al Tasybih, kesalahan kelompok
musyabihhah dan mujassimah dalam memahami sifat khabariyah, seperti tentang istiwa` ,
disebabkan karena;
1. Mereka menamakan khabar-khabar dengan khabar sifat, padahal realitanya hanyalah sebagai idhafat (penyandaran).
Secara kaidah dijelaskan
bahwa tidak semua idhafah bermakna sifat.
Perhatikanlah Allah berfirman :
ﻭﻧﻔﺨﺖ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺭﻭﺣﻰ
“Aku meniupkan kepadanya ruhKu”
Di sini jelas bahwa ada idhafah Allah dengan ruh.
Akan tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat ruh.
2. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan adalah hadits mutasyabihat, yang tidak diketahui makna dan maksudnya kecuali oleh Allah.
Namun kemudian mereka menafsirkannya dengan makna yang zhahir! Sangat mengherankan sekali, hal yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, akan tetapi zhahir bagi mereka!
Bukankah makna zhahir dari kalimat ﺍﺳﺘﻮﺍﺀ (bersemayam) kecuali bermakna ﺍﻟﻘﻌﻮﺩ (duduk) ?! dan kalimat ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ
(turun) tidak dipahami, kecuali bermakna ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ (perpindahan) ?!
3. Mereka kemudian menetapkan berbagai sifat
bagi Allah, sedangkan sifat yang layak bagi Allah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang layak untuk Zat Allah, yang bersifat qath`iy.
4. Di dalam masalah istbat (mentapkan sifat), mereka tidak bisa membedakan, bahwa khabar ada yang bersifat khabar masyhur seperti:
ﻳﻨﺰﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻰ ﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
Allah turun ke langit dunia
Dan ada khabar yang tidak sahih, seperti: hadits
ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺑﻰ ﻓﻰ ﺃﺣﺴﻦ ﺻﻮﺭﺓ .
Aku melihat Tuhanku pada sebaik-baik bentuk.
Akan tetapi mereka justru menetapkan sifat bagi Allah dengan hadits masyhur dan hadits yang tidak sahih ini!
5. Mereka tidak bisa membedakan antara hadits
yang marfu` (bersambungan sanad) kepada Rasul Saw., dan hadits yang mauquf (terputus sanad hanya sampai) kepada sahabat dan tabi`in, namun mereka menetapkan sifat dengan kedua hadits tersebut.
6. Mereka mentakwil sebagian lafaz pada tempat-tempat tertentu, seperti hadits:
ﻭﻣﻦ ﺃﺗﺎﻧﻰ ﻳﻤﺸﻰ ﺍﺗﻴﺘﻪ ﻫﺮﻭﻟﺔ
Dan barangsiapa yang mendatangi Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berlari.
Mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah untuk menunjukkan makna Allah memberikan nikmat.
Anehnya mereka tidak melakukan takwil pada tempat yang lain?!
7. Mereka memahami hadits-hadits berdasarkan pemahaman indrawi, oleh karena itu mereka berani
mengatakan: “Allah turun dengan zatNya dan berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain”, kemudian mereka mengatakan “bukan sebagaimana yang difikirkan!”
Mereka justru sudah duluan memikirkan dan membuat bingung orang- orang yang mendengar pernyataan mereka serta melumpuhkan indra dan akal mereka.
Wollohu
'alamu bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar