Jumat, 09 Desember 2016

Ternyata Nabi SAW.
 Orang Pertama yang Merayakan Maulid
Salah satu menu tahunan dalam daftar perdebatan antar kelompok-kelompok Islam adalah persoalan merayakan atau memperingati Maulid Nabi SAW.. Perdebatan dalam masalah ini tidak kalah panasnya dengan perdebatan dalam persoalan qunut Subuh, yang jauh lebih nyaring bunyinya ketimbang persoalan shalat Subuhnya itu sendiri. Berbagai argumentasi dikeluarkan, baik yang memang memiliki bobot ilmiah maupun yang hanya merupakan letupan emosi sesaat sehingga jauh dari koridor nalar yang sehat.

Umumnya para pengingkar Maulid Nabi SAW. berangkat dari wacana bid’ah, tema yang sampai detik ini tidak kunjung menemukan titik terangnya. Bahkan tema ini merupakan faktor utama tercerai-berainya umat Islam dewasa ini sehingga eksistensinya ringan bak buih di lautan yang dengan mudah diombang-ambingkan oleh desiran ombak, sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Nabi Muhammad SAW.. Merasa takut atau khawatir untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW. merupakan sebuah prinsip yang benar jika digunakan pada tempatnya dan sesuai porsinya. Sikap ini pun senantiasa dipegang teguh oleh para sahabat, generasi terbaik umat ini.

Abu Bakar al-Siddiq r.a. adalah salah seorang sahabat yang paling takut untuk menyelisihi perilaku atau keputusan Nabi SAW.. Dalam sejarah dikatakan, pasca wafatnya Nabi SAW., Umar bin Khattab r.a. –dan sejumlah sahabat lainnya—mengusulkan kepada Abu Bakar r.a. yag telah dibaiat sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. agar tidak mengirimkan pasukan Usamah bin Zaid r.a. untuk menyerang Romawi di Syam. Karena menurut mereka, umat Islam saat itu membutuhkan pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid r.a. untuk memerangi kalangan yang murtad sepeninggal Nabi SAW.. Namun, Abu Bakar r.a. tidak ingin menyelisihi keputusan yang telah dibuat oleh Nabi SAW. untuk mengirimkan pasukan melawan tentara Romawi, yang pada akhirnya dimenangkan oleh tentara Islam.
Kita juga dapat melihat bagaimana sikap Abu Bakar r.a. dalam peristiwa pengumpulan Al-Quran di era kekhilafahannya. Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H. telah merenggut sekitar 70 orang qari’ penghafal Al-Quran. Umar bin Khattab r.a. khawatir Al-Quran akan musnah jika tidak segera dibukukan. Ia pun segera pergi menemui Abu Bakar r.a. untuk mengusulkan agar Al-Quran segera dibukukan. Awalnya Abu Bakar r.a. menolak usulan tersebut dengan alasan hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.. Namun Umar terus mendiskusikan hal itu dengannya hingga Allah SWT. membuka hatinya dan ia pun menerima usulan Umar tersebut. Setelah itu, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Abu Bakar dengan ditemani Umar pergi menemui Zaid bin Tsabit untuk mengutarakan maksud tersebut, mengingat kedudukan Zaid dalam segala hal yang berkaitan dengan Al-Quran. Namun, Zaid pun mulanya menolak dengan alasan perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW., hingga akhirnya Allah membukakan hatinya untuk menerima usulan tersebut, setelah berdiskusi dengan Abu Bakar.

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa sikap hati-hati untuk tidak melakukan sebuah ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW. merupakan sikap mulia, dengan syarat dilakukan pada tempatnya, dan mau berubah padangan jika ternyata sikap tersebut tidak tepat. Sebagaimana kisah ketiga sahabat mulia di atas, dimana Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit enggan untuk melakukan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW., namun mereka berdua tidak segan untuk mengubah sikapnya manakala pendapat Umar bin Khattab dipandang jauh lebih benar dan maslahat.

Demikian juga halnya dalam kasus ‘Perayaan Maulid Nabi SAW.’ ini, yang seharusnya menjadi hari kebahagiaan seluruh umat Islam, namun berubah menjadi hari mencaci-maki saudara seiman. Di hari ini, saat mayoritas umat Islam merayakannya dengan melantunkan pujian kepada Sang Habib (kekasih); Baginda Sayyidina Muhammad SAW., di sudut yang lain sekelompok umat Islam sibuk mencela, mencaci, dan melabeli saudara seimannya dengan sebutan ahli bid’ah, sesat, dan tempatnya di neraka. Alasan utama mereka untuk menolak Maulid Nabi SAW. sebenarnya adalah karena –menurut mereka—perayaan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.. Itu adalah alasan utamanya, meskipun dalam berbagai tulisan mereka sering ada bumbu-bumbu tuduhan lainnya, seperti dalam perayaan maulid ada kemungkarannya, bercampur laki-laki dan perempuan, dibacakan shalawat bid’ah dan syirik yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW., dan lain sebagainya. Padahal bumbu-bumbu ini tidak perlu dimunculkan, karena selain bukan alasan inti, juga penulis yakin jika pun di dalam maulid itu tidak ada kemungkaran apa pun dan dicukupkan dengan membaca Al-Quran dan shalawat yang ma’tsur (diriwayatkan dari Nabi SAW.), mereka juga tetap mengingkari perayaan maulid dan kembali ke alasan utama; perayaan maulid tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.. Lantas benarkah Rasulullah SAW. tidak pernah merayakan hari kelahirannya?

Saat Rasulullah SAW ditanya mengenai amalan puasa yang beliau lakukan setiap hari Senin, beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, diutus, dan diberi wahyu.” Jadi, beliau sendiri telah merayakan hari kelahirannya sejak pertama kali beliau berpuasa hari Senin. Jawaban beliau itu juga memberi pelajaran kepada kita bahwa menghormati dan masyukuri hari-hari penting dan bersejarah dalam hidup kita merupakan sunnah Nabi SAW.. Jika argumentasi ini belum dapat diterima oleh saudara-saudara kita yang senantiasa berlebihan dalam memaknai kata ‘bid’ah’, maka mereka harus menyadari dua hal terkait hal ini. Pertama, secara umum, sikap berlebihan dalam memaknai bid’ah dengan arti bahwa segala perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW. adalah bid’ah sesat, ini adalah sikap yang sangat berbahaya. Karena dengan parameter ini akan banyak sahabat Nabi SAW. yang sesat, termasuk tiga sahabat yang sudah disebut di atas, Abu Bakar, Umar, dan Zaid radhiyallahu ‘anhum yang ketiganya ternyata sepakat untuk melakukan ibadah mengodifikasikan Al-Quran dimana perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW.. Kedua, secara khusus, terkait dengan maulid, para pengingkar perayaan maulid hampir sepakat bahwa yang pertama kali merayakan maulid adalah dinasti fathimiyah yang berdiri sejak akhir abad ke-3, tepatnya tahun 297 H. saat Ubaidillah al-Mahdi menjadi khalifah pertamanya. Sementara itu arus penentangan terhadap maulid baru terjadi pada abad ke-7, diantaranya sebagaimana yang dilakukan oleh al-Fakahani (W 731 H.) dan Ibnu al-Haj (W 737 H.). Lantas ke mana suara ulama yang menentang perayaan ini di abad ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6? Bukankah ini dapat dikatakan sebagai sebuah amalan baik yang telah diijmak oleh umat ini akan kebolehannya? Dan Nabi SAW. telah menjamin bahwa umat ini tidak akan pernah berijmak dalam kesesatan.

Yang unik di negeri kita, Indonesia, sebagian kalangan yang awalnya menolak merayakan maulid, kini pelan-pelan mereka mau merayakannya, meski caranya berbeda. Jika warisan Islam Nusantara merayakan maulid dengan cara membaca sirah dan pujian-pujian kepada Nabi SAW. yang termaktub di dalam kitab-kitab maulid semisal al-Barzanzi, al-Daibai, Simtuddurar, dan lainnya, maka mereka yang semula mengingkari maulid ini merayakannya dengan seminar dan kajian tentang sosok agung Sayyiduna Muhammad SAW.. Intinya sama, sama-sama merayakan maulid, meski beda cara. Dan perbedaan cara dalam mengungkapkan kecintaan kepada Nabi SAW. ini boleh-boleh saja, karena memang tidak dibatasi dengan cara tertentu. Mereka ini sebenarnya juga sering melakukan perayaan pada hari-hari besarnya, seperti hari jadi organisasinya, partainya, dan tokohnya, bahkan hari jadi dirinya sendiri. Namun ada juga segelintir orang yang memang sama sekali tidak mau melakukan perayaan apapun, termasuk maulid Nabi SAW. ini.


Jika mereka yang tidak setuju dengan perayaan maulid berhenti pada titik ‘tidak setuju’ saja, tanpa harus mencela orang-orang yang merayakannya, maka tentu saja persoalannya akan lebih mudah. Namun fakta di lapangan, mereka yang tidak merayakan maulid ini sangat gencar untuk melancarkan serangan dan propaganda, baik lisan maupun tulisan, sehingga menciptakan suasana yang semakin tidak kondusif di tengah carut-marutnya umat Islam dewasa ini. Dialog atau kritikan sebagai salah satu pilar penting pendewasaan wacana dan pematangan ilmu pengetahuan harus tetap dipelihara, dan di saat yang sama harus dipatuhi rambu-rambu metodologi ilmiahnya. Wallâhu a’lam bi ash-showâb.