Ternyata Nabi SAW.
Orang Pertama yang Merayakan Maulid
Salah satu menu tahunan dalam daftar perdebatan antar
kelompok-kelompok Islam adalah persoalan merayakan atau memperingati Maulid Nabi
SAW.. Perdebatan dalam masalah ini tidak kalah panasnya dengan perdebatan dalam
persoalan qunut Subuh, yang jauh lebih nyaring bunyinya ketimbang persoalan
shalat Subuhnya itu sendiri. Berbagai argumentasi dikeluarkan, baik yang memang
memiliki bobot ilmiah maupun yang hanya merupakan letupan emosi sesaat sehingga
jauh dari koridor nalar yang sehat.
Umumnya para pengingkar Maulid Nabi SAW. berangkat
dari wacana bid’ah, tema yang sampai detik ini tidak kunjung menemukan titik
terangnya. Bahkan tema ini merupakan faktor utama tercerai-berainya umat Islam
dewasa ini sehingga eksistensinya ringan bak buih di lautan yang dengan mudah
diombang-ambingkan oleh desiran ombak, sebagaimana yang pernah disinyalir oleh
Nabi Muhammad SAW.. Merasa takut atau khawatir untuk melakukan ibadah yang
tidak dilakukan oleh Nabi SAW. merupakan sebuah prinsip yang benar jika
digunakan pada tempatnya dan sesuai porsinya. Sikap ini pun senantiasa dipegang
teguh oleh para sahabat, generasi terbaik umat ini.
Abu Bakar al-Siddiq r.a. adalah salah seorang sahabat
yang paling takut untuk menyelisihi perilaku atau keputusan Nabi SAW.. Dalam
sejarah dikatakan, pasca wafatnya Nabi SAW., Umar bin Khattab r.a. –dan
sejumlah sahabat lainnya—mengusulkan kepada Abu Bakar r.a. yag telah dibaiat
sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. agar tidak mengirimkan pasukan Usamah bin
Zaid r.a. untuk menyerang Romawi di Syam. Karena menurut mereka, umat Islam
saat itu membutuhkan pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid r.a. untuk memerangi
kalangan yang murtad sepeninggal Nabi SAW.. Namun, Abu Bakar r.a. tidak ingin
menyelisihi keputusan yang telah dibuat oleh Nabi SAW. untuk mengirimkan
pasukan melawan tentara Romawi, yang pada akhirnya dimenangkan oleh tentara
Islam.
Kita juga dapat melihat bagaimana sikap Abu Bakar r.a.
dalam peristiwa pengumpulan Al-Quran di era kekhilafahannya. Perang Yamamah
yang terjadi pada tahun 12 H. telah merenggut sekitar 70 orang qari’ penghafal
Al-Quran. Umar bin Khattab r.a. khawatir Al-Quran akan musnah jika tidak segera
dibukukan. Ia pun segera pergi menemui Abu Bakar r.a. untuk mengusulkan agar
Al-Quran segera dibukukan. Awalnya Abu Bakar r.a. menolak usulan tersebut
dengan alasan hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.. Namun Umar
terus mendiskusikan hal itu dengannya hingga Allah SWT. membuka hatinya dan ia
pun menerima usulan Umar tersebut. Setelah itu, sebagaimana diriwayatkan oleh
imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, Abu Bakar dengan ditemani Umar pergi menemui
Zaid bin Tsabit untuk mengutarakan maksud tersebut, mengingat kedudukan Zaid
dalam segala hal yang berkaitan dengan Al-Quran. Namun, Zaid pun mulanya
menolak dengan alasan perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
SAW., hingga akhirnya Allah membukakan hatinya untuk menerima usulan tersebut,
setelah berdiskusi dengan Abu Bakar.
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil sebuah
pelajaran bahwa sikap hati-hati untuk tidak melakukan sebuah ibadah yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah SAW. merupakan sikap mulia, dengan syarat dilakukan
pada tempatnya, dan mau berubah padangan jika ternyata sikap tersebut tidak
tepat. Sebagaimana kisah ketiga sahabat mulia di atas, dimana Abu Bakar dan
Zaid bin Tsabit enggan untuk melakukan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW., namun mereka berdua tidak segan untuk mengubah sikapnya
manakala pendapat Umar bin Khattab dipandang jauh lebih benar dan maslahat.
Demikian juga halnya dalam kasus ‘Perayaan Maulid Nabi
SAW.’ ini, yang seharusnya menjadi hari kebahagiaan seluruh umat Islam, namun
berubah menjadi hari mencaci-maki saudara seiman. Di hari ini, saat mayoritas
umat Islam merayakannya dengan melantunkan pujian kepada Sang Habib (kekasih);
Baginda Sayyidina Muhammad SAW., di sudut yang lain sekelompok umat Islam sibuk
mencela, mencaci, dan melabeli saudara seimannya dengan sebutan ahli bid’ah,
sesat, dan tempatnya di neraka. Alasan utama mereka untuk menolak Maulid Nabi
SAW. sebenarnya adalah karena –menurut mereka—perayaan ini tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW.. Itu adalah alasan utamanya, meskipun dalam
berbagai tulisan mereka sering ada bumbu-bumbu tuduhan lainnya, seperti dalam
perayaan maulid ada kemungkarannya, bercampur laki-laki dan perempuan,
dibacakan shalawat bid’ah dan syirik yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW.,
dan lain sebagainya. Padahal bumbu-bumbu ini tidak perlu dimunculkan, karena
selain bukan alasan inti, juga penulis yakin jika pun di dalam maulid itu tidak
ada kemungkaran apa pun dan dicukupkan dengan membaca Al-Quran dan shalawat
yang ma’tsur (diriwayatkan dari Nabi SAW.), mereka juga tetap mengingkari
perayaan maulid dan kembali ke alasan utama; perayaan maulid tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW.. Lantas benarkah Rasulullah SAW. tidak pernah
merayakan hari kelahirannya?
Saat Rasulullah SAW ditanya mengenai amalan puasa yang
beliau lakukan setiap hari Senin, beliau menjawab: “Itu adalah hari aku
dilahirkan, diutus, dan diberi wahyu.” Jadi, beliau sendiri telah merayakan
hari kelahirannya sejak pertama kali beliau berpuasa hari Senin. Jawaban beliau
itu juga memberi pelajaran kepada kita bahwa menghormati dan masyukuri
hari-hari penting dan bersejarah dalam hidup kita merupakan sunnah Nabi SAW..
Jika argumentasi ini belum dapat diterima oleh saudara-saudara kita yang
senantiasa berlebihan dalam memaknai kata ‘bid’ah’, maka mereka harus menyadari
dua hal terkait hal ini. Pertama, secara umum, sikap berlebihan dalam memaknai
bid’ah dengan arti bahwa segala perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah
SAW. adalah bid’ah sesat, ini adalah sikap yang sangat berbahaya. Karena dengan
parameter ini akan banyak sahabat Nabi SAW. yang sesat, termasuk tiga sahabat
yang sudah disebut di atas, Abu Bakar, Umar, dan Zaid radhiyallahu ‘anhum yang
ketiganya ternyata sepakat untuk melakukan ibadah mengodifikasikan Al-Quran dimana
perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW.. Kedua, secara khusus,
terkait dengan maulid, para pengingkar perayaan maulid hampir sepakat bahwa
yang pertama kali merayakan maulid adalah dinasti fathimiyah yang berdiri sejak
akhir abad ke-3, tepatnya tahun 297 H. saat Ubaidillah al-Mahdi menjadi
khalifah pertamanya. Sementara itu arus penentangan terhadap maulid baru
terjadi pada abad ke-7, diantaranya sebagaimana yang dilakukan oleh al-Fakahani
(W 731 H.) dan Ibnu al-Haj (W 737 H.). Lantas ke mana suara ulama yang
menentang perayaan ini di abad ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6? Bukankah ini dapat
dikatakan sebagai sebuah amalan baik yang telah diijmak oleh umat ini akan
kebolehannya? Dan Nabi SAW. telah menjamin bahwa umat ini tidak akan pernah berijmak
dalam kesesatan.
Yang unik di negeri kita, Indonesia, sebagian kalangan
yang awalnya menolak merayakan maulid, kini pelan-pelan mereka mau
merayakannya, meski caranya berbeda. Jika warisan Islam Nusantara merayakan
maulid dengan cara membaca sirah dan pujian-pujian kepada Nabi SAW. yang
termaktub di dalam kitab-kitab maulid semisal al-Barzanzi, al-Daibai,
Simtuddurar, dan lainnya, maka mereka yang semula mengingkari maulid ini
merayakannya dengan seminar dan kajian tentang sosok agung Sayyiduna Muhammad
SAW.. Intinya sama, sama-sama merayakan maulid, meski beda cara. Dan perbedaan
cara dalam mengungkapkan kecintaan kepada Nabi SAW. ini boleh-boleh saja,
karena memang tidak dibatasi dengan cara tertentu. Mereka ini sebenarnya juga
sering melakukan perayaan pada hari-hari besarnya, seperti hari jadi
organisasinya, partainya, dan tokohnya, bahkan hari jadi dirinya sendiri. Namun
ada juga segelintir orang yang memang sama sekali tidak mau melakukan perayaan
apapun, termasuk maulid Nabi SAW. ini.
Jika mereka yang tidak setuju dengan perayaan maulid
berhenti pada titik ‘tidak setuju’ saja, tanpa harus mencela orang-orang yang
merayakannya, maka tentu saja persoalannya akan lebih mudah. Namun fakta di
lapangan, mereka yang tidak merayakan maulid ini sangat gencar untuk
melancarkan serangan dan propaganda, baik lisan maupun tulisan, sehingga
menciptakan suasana yang semakin tidak kondusif di tengah carut-marutnya umat
Islam dewasa ini. Dialog atau kritikan sebagai salah satu pilar penting
pendewasaan wacana dan pematangan ilmu pengetahuan harus tetap dipelihara, dan
di saat yang sama harus dipatuhi rambu-rambu metodologi ilmiahnya. Wallâhu
a’lam bi ash-showâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar